Jumat 16 Jul 2021 20:14 WIB

Penuturan Ibnu Katsir tentang Ayah dan Dirinya

Biografi Ibnu Katsir dibuat lebih dari 20 buku.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Penuturan Ibnu Katsir tentang Ayah dan Dirinya. Foto:   Kitab Tafsir Ibnu Katsir (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Penuturan Ibnu Katsir tentang Ayah dan Dirinya. Foto: Kitab Tafsir Ibnu Katsir (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sesungguhnya, biografi mengenai Ibnu Katsir dimuat dalam lebih dari 20 buku. Sebagaimana biografi yang beliau tulis ketika menulis biografi ayahnya di dalam kitabnya pada tahun 703 Hijriyah.

Dalam pengantar buku Ringkasan Bidayah wa Nihayah dijelaskan, Ibnu Katsir di dalam kitabnya berkata, “Ayahku wafat. Ayahku bernama Al-Khathib Syihabuddin Abu Hafsh Umar bin Katsir bin Dhau bin Katsir bin Dhau bin Dar Al-Qurasyi. Dia berasal dari Bani Hashlah. Mereka tergolong kabilah yang sangat mulia dan sangat menjaga silsilah. Berakhir kepada sebagian dari mereka silsilah Syekh kami, Al-Muziy. Hingga hal itu mengejutkannya dan membuatnya merasa bangga, sehingga dia menulis nasabku yakni Al-Qurasyi,”.

Baca Juga

“Berasal dari suatu desa yang bernama As-Syarkawin yang terletak di sebelah barat Bushra. Antara keduanya berjarak beberapa meter saja. Dilahirkan di desa tersebut pada penghujung tahun 640 Hijriyah. Dia bekerja pada pamannya dari Bani Uqbah di Bushra. Dia membaca kitab Al-Bidayah yang bermadzhab Abu Hanifah. Dia menghafalkan Jumal Az-Zujaji, mempelajari nahwu, ilmu-ilmu kearaban, bahasa Arab, dan syair-syair Arab,”.

“Dia sanggup menghafal syair-syair bagus, indah, dan bernilai tinggi dalam bidang pemberian puji-pujian khusus untuk orang-orang shalih yang telah meninggal, dan sedikit tentang huruf-huruf. Beberapa sekolah di Bushra ditetapkan sebagai tempat rebahan unta yang terletak di sebelah utara negeri yang menadi tempat keramat dan diziarahi. Itulah tempat rebahan yang paling masyhur di banyak kalangan,”.

“Kemudian dia pindah untuk menjadi orator desa sebelah Timur Bushra yang bermadzhab Syafii. Dia belajar kepada Imam Nawawi dan Syekh Tajuddin Al-Fazari. Dia sangat menghormati dan menjunjung tinggi para gurunya, sebagaimana dikatakan kepadaku oleh syekh kami, Al-Allamah Az-Zamlakani, ‘Dia tinggal di kediaman gurunya selama kurang lebih 12 tahun. Kemudian pindah lagi untuk menjadi orator di desa Majidal Al-Qaryah, daerah asal ibunya. Dia tinggal di sana dalam waktu yang cukup lama dengan menggeluti kegiatan yang berkenaan dengan kebaikan, kecukupan, dan tilawah sebanyak-banyaknya,”.

“Dia sangat bagus dalam berorasi. Dia diterima dengan sangat baik oleh banyak orang. Pembicaraannya sangat akurat dan tepat dalam materi agama. Dia mengutamakan untuk tinggal di negeri sendiri dengan alasan kelemah-lembutan yang ada di masyarakatnya dan mudah mencari yang halal untuk kepentingan diri dan keluarganya,”.

“Beberapa anaknya telah lahir dari seorang ibu. Mereka adalah Abdul Wahhab, Abdul Aziz, Muhammad, dan beberapa saudara perempuannya. Saya anak terkecil di antara mereka. Saya diberi nama sebagaimana nama saudaraku, Ismail. Dia telah tiba di Damaskus setelah hafal Alquran dengan bimbingan ayahnya. Dia juga membaca mukaddiham nahwu serta menghafal At-Tanbih dan syarahnya dengan bimbingan Al-Allamah Tajuddin Al-Fazari. Dia berhasil menyusun kitab Al-Muntakhab dalam bidang ilmu Ushul Ikih. Demikian dikatakan kepadaku oleh Syekh Ibnu Az-Zamlakani. Kemudian dia terjatuh dari dataran As-Syamiyah Al-Baraniyah hingga uzur dalam beberapa hari, dan akhirnya wafat. Ayahnya menemukan berbagai hal pada dirinya dan akhirnya memujinya,”.

“Setelah aku dilahirkan sepeninggalnya, aku pun dinamai dengan namanya. Anak pertamanya bernama Ismail dan anak terkecil dan termudanya juga bernama Ismail. Ayah kami meninggal pada bulan Jumadil Ula tahun 703 Hijriyah di Desa Majidal Al-Qaryah dan dimakamkan di tempat bernama Az-Zaitunah, di sebelah utara. Ketika itu aku kira-kira berumur tiga tahun. Aku tidak sempat melihatnya, melainkan hanya dalam mimpi,”.

“Sepeninggal ayah, kami pindah ke Damaskus bersama Kamaluddin Abdul Wahhab. Dia saudara kandung kami yang selalu mendampingi kami dengan oenuh kasih sayang. Dia kemudian wafat kira-kira 50 tahun sesudahnya. Aku bekerja di bidang ilmiah padanya, sebab sebagian syekhnya adalah Syekhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah. Karya tulisnya yang paling terkenal adalah kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah dan Tafsir Alquranul-Azhim. Namun sayangnya, dia menjadi buta pada akhir hayatnya,”.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement