Adapun Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, III, hal. 42 menjelaskan,
وَحَدُّ الْوَجْهِ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ مَا بَيْنَ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِالصَّلَعِ وَلَا بِالْغَمَمِ إِلَى مُنْتَهَى اللَّحْيَيْنِ وَالذَّقْنِ طُولًا، وَمِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْأُذُنِ عَرْضًا وَفِي النَّزْعَتَيْنِ وَالتَّحْذِيفِ.
Batasan wajah menurut para ahli fikih adalah panjang antara tempat tumbuhnya rambut, kepala gundul tidak dianggap, hingga ujung dagu, sedangkan lebarnya antara kedua telinga.
Mengenai penjelasan para mufassir berkaitan dengan makna wajah, secara lahir ujung dagu adalah termasuk bagian wajah yang boleh terlihat dan bagian bawah dagu adalah termasuk aurat yang harus ditutup. Namun, penafsiran di atas hanya sebatas menjabarkan batas wajah saja.
Penjelasan mengenai pengertian dagu dikemukakan oleh Mahmud ‘Abdurrahman ‘Abdul Mun‘im dalam Mu’jam al-Musthalahat wa al-Alfazh al-Fiqhiyyah, terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2010, bahwa makna dagu dan batas panjangnya adalah tempat bertemunya dua lihyah (jenggot) yang berada di bawah wajah serta dimutlakkan pada sesuatu yang menjadi tempat tumbuhnya rambut jenggot.
Oleh karena itu, panjangnya dagu adalah sampai batas tumbuhnya rambut seseorang di bawah wajah. Jadi, bawah dagu itu bukan termasuk aurat, karena batas dagu itu adalah sepanjang tempat tumbuhnya rambut jenggot seseorang di bawah wajahnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2020