Selasa 09 Feb 2021 18:54 WIB

Ucapan-Ucapan yang Termasuk Nadzar

Nadzar itu disyariatkan, namun tidak digalakkan.

Ucapan-Ucapan yang Termasuk Nadzar
Foto:

Kafarat nadzar sama dengan kafarat sumpah, yaitu memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa diberikan kepada keluarga, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan hamba sahaya. Jika semua itu tidak bisa dilakukan, maka ia wajib berpuasa tiga hari, baik secara berturut-turut maupun tidak.

Tapi jika nadzar itu merupakan kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka nadzar tersebut tidak wajib dilaksanakan. Contohnya, bernadzar minum arak jika lulus ujian atau bernadzar menyakiti seseorang atau akan meninggalkan shalat jika naik pangkat/jabatan.

Terkait dengan pertanyaan Ibu, perlu dipahami lagi bahwa salah satu tujuan berumah tangga atau pernikahan adalah memiliki anak. Jika tidak mau hamil yang tentunya berakibat tidak memiliki anak, maka justru tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.

Apalagi ketidakmauan itu hanya dari salah satu pihak saja dan dengan alasan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Oleh sebab itu, jika perkataan tersebut termasuk nadzar, maka sebenarnya termasuk nadzar atas sesuatu yang tidak baik, sehingga tidak perlu dilakukan.

Perkataan yang Ibu ucapkan tersebut juga bisa bermakna ancaman kepada suami atau setidaknya untuk menakut-nakuti suami agar melaporkan pernikahannya dengan Ibu ke pihak yang mengurus dana pensiun dari almarmuhah istrinya. Sebenarnya, dalam rangka amar makruf nahi munkar, memang sudah menjadi kewajiban Ibu untuk mengingatkan agar suami segera mengurus pemberhentian penerimaan dana pensiun tersebut, karena dana pensiun itu sudah bukan haknya.

Dalam pandangan Islam, mengambil barang yang bukan haknya dapat dikategorikan kepada perbuatan ghasab yang haram hukumnya. Bahkan, sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, dana pensiun yang diambil tersebut wajib untuk dikembalikan karena merupakan kelebihan pembayaran.

Tetapi, sebisa mungkin hal itu dilakukan dengan cara yang bijaksana dan mengedepankan prinsip musyawarah supaya suami tidak merasa tersinggung dan tidak perlu dengan mengucapkan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Adapun bila suami masih belum mau melakukannya, maka setidaknya kewajiban Ibu untuk mengingatkan sudah terlaksana.

Mengenai hasilnya tentu Allahlah yang menentukan. Ibu sebaiknya lebih banyak bersabar, berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah agar suami segera diberi petunjuk dengan tetap menasihati secara bijak dan makruf. Allah swt berfirman,

وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ [العصر، 103: 1-3].

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran, [QS. al-Ashr (103): 1-3].

Jika persoalannya karena suami hanya enggan mengurusnya, apabila memungkinkan Ibu dapat saja membantu suami melaporkan tentang perubahan status suami. Sehingga dana pensiun yang sudah tidak menjadi haknya tersebut dapat segera dihentikan.

Namun demikian perlu diketahui bahwa masalah dana pensiun ini sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Pada Pasal 28 ayat 1 UU tersebut disebutkan, “Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda yang tidak mempunyai anak, dibatalkan jika janda/duda yang bersangkutan nikah lagi, terhitung dari bulan berikutnya perkawinan itu dilangsungkan”. Sementara itu, dalam Penjelasan atas Pasal 28 ayat 1 itu disebutkan, “Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda menurut ketentuan ayat (1) Pasal 28 tidak dibatalkan jika janda/duda masih mempunyai anak”.

Dengan demikian, jika memang suami Ibu tidak mempunyai anak dari istri sebelumnya yang telah meninggal dunia, maka dana pensiun itu memang bukan haknya, sehingga setelah menikah lagi semestinya dihentikan. Tetapi jika dari istri sebelumnya suami Ibu mempunyai anak, maka dana pensiun tersebut tetap menjadi haknya, dengan catatan sebagai nafkah untuk anaknya, meskipun suami Ibu telah menikah dengan Ibu.

Demikian jawaban kami, semoga dapat memberi solusi atas pertanyaan yang Ibu sampaikan.

Wallahu a‘lam bish-shawab

-----

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2020

 

Lihat artikel asli

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement