Kamis 09 Apr 2020 08:04 WIB
Muhammad

Gambar Nabi Muhammad di Mata Orang Barat Non-Muslim

Gambar Nabi Muhammad di mata orang Barat.

Adegan film perjuangan Rasullah Muhammad SAW dalam film
Foto: google.com
Suana tawav di Ka

Maka, dalam suasana 'deman' pasca-Charlie Hebdo, Museum Victoria dan Albert bahkan kemudian menghapus dari basis data daring sebuah poster Iran tentang seorang pemuda yang diklaim bernama Muhammad. Seorang juru bicara lembaga ini mengklaim bahwa 'timnya telah membuat itu keputusan menghapus demi keamanan'.

Stefano Carboni, direktur Galeri Seni Australia Barat, Perth, telah mencoba untuk mengadakan pameran untuk berjalan secara paralel dengan koleksi esai baru yang bertajuk ’Debat Gambar: Representasi Gambar dalam Islam dan Melintasi Dunia’.

Carboni memberi tahu melalui e-mail bahwa sejumlah lembaga Australia, Asia, dan AS tidak berkomitmen ada rencana atau proyek ini sebab adanya 'risiko yang akan dari pameran, termasuk gambar-gambar Nabi Muhammad ini apakah akan diterima, khususnya oleh komunitas Muslim'.

Mereka sadar betul bahwa soal adanya gambar Nabi Muhammad memang di satu sisi Islam ikonik, di sisi lain gambar ini akan memancing protes bahkan ancaman kekerasan. Karenanya karya-karya seperti itu harus dijelaskan --itu bukan dia (Nabi Muhammad)-- atau disembunyikan dari masyarakat umum.

https://i.dawn.com/primary/2015/08/55dff40283712.jpg

  • Keterangan Foto: Ilustrasi adegan orang tawaf di Makkah pada zaman dahulu.

Syukurlah, pemikiran seperti ini sekarang dipertanyakan. Pakar terkemuka dalam bidang ini adalah Christiane Gruber, seorang profesor seni Islam di University of Michigan. Buku terbarunya, "The Praiseworthy One: Nabi Muhammad dalam Teks dan Gambar Islam" (diterbitkan Indiana University Press) adalah yang pertama berani memuatnya. (Salah satunya ketika dia mengedit tentang apa yang disebut: The Image Debate).

Ketika saya bertemu dengannya di London pada Juni, dia memberi tahu saya bahwa kurator harus lebih berani. 'Setahu saya,' katanya, 'tidak pernah ada reaksi keras atau negatif terhadap pameran publik Muhammad di museum.'

Memang, Gruber percaya bahwa kurator yang menutup mata mereka pada tradisi figuratif ini hanya memperkuat kaum fundamentalis: "Itulah semacam ruang gema dari efek sikap buruk kaum orientalis di masa lalu atau kini dari sikap kaum Salafi yang saya pikir sangat merugikan warisan Islam."

Masalahnya, sebagian mengarah pada kebingungan kategori. Kartun Charlie Hebdo tidak memprovokasi kemarahan karena mereka menggambarkan Nabi --tetapi itu adalah kesengajaan mereka yang disengaja. Ejekan kepada Nabi Muhammad seperti itu memang harus diakui mengakar dalam budaya Barat. Di Eropa abad pertengahan, Nabi adalah tokoh cemoohan.

Hal tersebut misalnya terdapat dalam buku baru John Tolan, "Faces of Muhammad" (Princeton University Press). Buku itu mencetak ulang ilustrasi mengerikan dari manuskrip John Lydgate, puisi abad ke-15, The Fall of Princes, di mana Muhammad digambarkan sebagai sosok manusia palsu yang duduk di antara setan.              

          *****

Di dunia pasca hancurnya Menara Kembar di New York pada 11 Setember 2001, gambar provokatif tentang Nabi Muhammad diaktifkan kembali. Gambar ini tidak hanya untuk menyerang agama, tetapi juga untuk mengejek minoritas Muslim yang tinggal di Barat.

Maka menurut Gruber, di masa kini kita hidup, tak terhindarkan, dalam apa yang disebut sebagai dunia 'pasca-kartun'. Tapi setidaknya kita bisa mencoba kehilangan sebagian dari khazanah budaya modern kita. "Bagaimana jika kita mundur 30 tahun, mundur ke abad ke-16?" Begitu dia bertanya padaku (penulis, red).

"Bagaimana kita menempatkan diri kita ke dalamnya?" Terutama, dia tidak mereproduksi gambar satir seperti dalam "The Praiseworthy One", atau koleksi esai yang menghina sosok Nabi Muhammad.

Untuk analisis sejarah yang lebih bernuansa, maka kita perlu melupakan masalah-masalah modern seperti kebebasan berbicara dan terorisme, selanjutnya kemudian membayangkan diri kita berada dalam lingkungan seniman dan para pelindung Muslim yang menghormati Nabi melalui lukisannya.

Pada akhir abad pertengahan, dalam karya-karya Sunni dan Syiah, menjadi tidak umum untuk menunjukkan wajah Nabi. Dalam satu biografi Ottoman terkenal yang ditugaskan oleh Murad III, bahkan wajah bayi Muhammad ditutupi. Di sana ternyata kekhawatiran atas penyembahan Nabi Muhammad seperti berhala tetap ada.

Sebuah manuskrip Persia abad ke-16 yang dibuat di Shiraz juga memperlihatkan Muhammad yang terselubung dan menantunya Ali, di pundaknya, mengeluarkan berhala berbentuk monyet dari Ka'bah. Namun ini bukan pengembalian sederhana untuk ikonik sosok Nabi.  

Memang ada yang menggambarkan bahwa penghancuran berhala di Ka'bah itu sendiri dirayakan dengan gambar. Ada gambar sosok Nabi secara utuh karena bertuliskan 'Muhammad' dengan memakai tinta emas.

Namun, jika kemudian gambar itu dilihat dari dekat ternyata wajah di nama mirip lukisan kubisme, yakni dua huruf mim menyerupai mata, ha hidung, dan dal mulut.

Nah, apakah tersebut semacam gambar teka-teki yang mengharuskan pemirsa menggunakan imajinasi mereka sendiri? Dan sementara wajah Ali yang ada digambar itu telah rusak, ini bisa karena ada orang yang selalu menggosok, mencium atau mungkin menjilatnya.

Dan berbeda dengan mereka yang sibuk membuat gambar Nabi, para sufi, misalnya, menekankan keintiman mereka dengan Nabi Muhammad dalam cara lain. Dalam miniatur Bukharan yang sangat indah yang dibuat pada tahun 1530-an, ada gambaran dari tiga orang sufi memunculkannya sosok Nabi dalam pikiran mereka.

Dalam gambar tiga orang sufi tersebut, tampak sebuah Al-Qur'an di dekat sebuah sosok meledak ke dalam nyala api yang sebagai ilustrasi gambar Muhammad di Buraq.

Para seniman penulis kisah itu menampulkan para sufi membayangkan Nabi sebagai kehadiran nyata. Ini dilakukannya melalui fitur-fitur gambar lembut yang menawarkan model yang sempurna untuk seorang mistikus yang pengasih.

Ilustrasi sosok Nabi Muhammad sebagai prajurit, raja, petualang langit dan sufi --ini hanya empat dari gambar sosok Muhammad yang populer. Saat ini Anda kemungkinan besar akan melihat representasi abstrak seperti jejak sandal atau bunga mawar. Penggambaran ini, kita harus perhatikan, tidak kurang bermakna untuk menjadi non-figural.

Salah satu kurator seni Islam di koleksi pribadi di London, yang tak ingin namanya disebut, memberi tahu saya bahwa pembingkaian proyek Gruber untuk 'mengembalikan ke warisan budaya artistiknya yang kaya' kepada Islam, seperti yang dikemukakan oleh The Praiseworthy One, memiliki masalah.

Katanya, “Semua orang tahu betapa pentingnya Muhammad bagi umat Islam [...] dan Islam tidak memerlukan budayanya gambar sosok Nabi dikembalikan padanya."

Dan Gruber pun kemudian mengakui keberatannya. "Ini bukan tentang gambar yang diambil, dan kemudian diberikan kembali kepada umat Islam," katanya padaku.

"Ini tentang mengembalikan wacana yang tepat di sekitar gambar dengan cara yang bebas dari jenis agenda lainnya,'' katanya lagi.

Jadi semua itu hanya bisa terjadi, tentu saja, jika kita dapat melihat gambar dalam konteks yang tepat --bukan pada situs web anti-Muslim tempat mereka sering berkumpul.

Untungnya, semuanya berubah. Museum Rietberg di Zurich menyelenggarakan acara di musim gugur 2020 tentang ikonoklasma dan ikonografi di mana gambar-gambar Nabi akan dimasukkan. Pameran tertunda itu digagas Stefano Carboni katanya kepada saya, "Hampir dipastikan pameran akan diadakan di sebuah lembaga Amerika Utara" tahun depan.

Menurut Carboni dengan bersikeras, "Beberapa Muslim tidak akan pernah ingin melihat Nabi mereka digambarkan. Itu hak mereka. Tapi kami tidak bisa berpura-pura bahwa gambar seperti itu tidak pernah ada."

"Para cendekiawan dan kurator harus memainkan peran mereka dalam memungkinkan umat Islam dan orang lain untuk berbicara satu sama lain sepanjang waktu tentang beragam cara yang telah dianggap Nabi. Karena kepribadian yang mengubah dunia ini selalu ada di mata yang melihatnya," ujar Carboni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement