Selasa 06 Apr 2021 08:15 WIB

Ternyata Ibnu Athaillah Pernah Ragukan Praktik Tasawuf

Ibnu Athaillah melihat praktik menyimpang oknum para salik

Ibnu Athaillah melihat praktik menyimpang oknum para salik. Ilustrasi tarian sufi dalam salah satu tarekat tasawuf
Foto:

Setibanya di majelis Abu al-Abbas, aku mendengar ia bicara tentang nafas (waktu) dan dzauq (rasa), tingkatan orang-orang yang berjuang menuju Allah (salik) dan sejauh mana pengenalan dan kedekatan mereka dengan-Nya. 

Ia (Abu al-Abbas) berkata, “Pertama adalah Islam. Ini derjat ketundukan, kepatuhan dan melaksanakan seluruh aturan syariat. Kedua adalah Iman. Ini derjat hakikat (inti) dari syariat dengan mengenali implikasi (lawazim) dari penghambaan. Ketiga adalah ihsan. Ini adalah maqam (level) ‘menyaksikan’ (syuhud) al-Haqq SWT di dalam hati. Engkau bisa mengatakan, pertama ibadah (عبادة), kedua ubudiyyah (عبودية), ketiga ubudah (عبودة). Engkau juga bisa mengatakan, pertama syariat (شريعة), kedua hakikat (حقيقة), ketiga tahaqquq (تحقق).”

Ia terus berkata, “engkau bisa mengatakan… engkau bisa mengatakan…” hingga aku tertegun dan merasa sangat takjub dengan kedalaman pemahamannya. Akhirnya aku tahu bahwa orang ini ‘menyauk’ dari karunia lautan ilahi. Setelah itu hilanglah semua yang aku rasakan sebelumnya (penentangan, ketidaksetujuan dan sebagainya).

Malam itu aku pulang ke rumah. Aneh, aku tak merasa ada hasrat untuk berkumpul dengan keluarga seperti kebiasaanku sebelumnya. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi aku tidak tahu apa itu? Hatiku merasa disentuh sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Akhirnya keesokan harinya aku kembali lagi ke majelis orang itu.

Ketika aku tiba di majelisnya, ia berdiri menyambutku penuh gembira. Akupun merasa malu. Aku merasa tidak pantas dihormati seperti itu. Kata pertama yang terucap dari mulutku padanya adalah, “Tuan, demi Allah, aku mencintaimu.” Ia pun membalas, “Dan akupun mencintaimu.”

Kemudian aku mengeluhkan padanya keresahan dan gundah-gulana yang kurasakan. Ia berkata:

"Seorang hamba ada dalam empat kondisi saja; nikmat (نعمة), ujian (بلية), taat (طاعة) dan maksiat (معصية). Kalau engkau berada dalam nikmat maka hak Allah terhadapmu adalah bersyukur. Kalau engkau berada dalam ujian maka hak Allah terhadapmu adalah bersabar. Kalau engkau berada dalam taat maka hak Allah terhadapmu adalah engkau merasakan semua itu datang dari-Nya. Kalau engkau berada dalam maksiat maka hak Allah terhadapmu adalah memohon ampun.”

Setelah mendengar itu, akupun pamit. Seluruh keresahan dan gundah-gulana yang kurasakan tadi hilang seperti baju yang baru saja aku tanggalkan.”

من كانت بدايته محرقة كانت نهايته مشرقة التصوف الإعراض عن الاعتراض  

 

 

*Alumni Al Azhar Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement