REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA
Seorang bapak yang biasa mengikuti pengajian saya bertanya, “Ustadz, kenapa tidak banyak para ustadz yang membuka kajian tentang tasawuf, apakah karena ia sesuatu yang salah, atau pembahasannya berat sehingga tak semua orang mampu mengkajinya?”
Dengan keterbatasan ilmu, saya menjawab, “Banyak faktornya, Pak… Di antaranya karena istilah ‘tasawuf’ dalam persepsi sebagian orang terlanjur negatif. Ini disebabkan banyak hal. Ada yang disebabkan perilaku dan praktik ibadah oknum yang mengaku sufi dan ahli tarekat yang menyimpang sehingga muncul kesan bahwa memang begitulah tasawuf dan tarekat itu.
Padahal, membebankan kesalahan oknum kepada komunitas adalah sesuatu yang salah, apalagi membebankan kesalahan oknum kepada suatu ajaran dan prinsip yang murni dan bersih. Ada juga karena keterbatasan bacaan dan sumber yang lebih terpercaya tentang tasawuf. Ada juga karena polemik yang terjadi antara orang-orang yang anti tasawuf dengan tokoh-tokoh tasawuf. Polemik ini menghalangi mereka untuk mengkaji tasawuf secara jernih dan murni.”
Sebenarnya, Ibnu Athaillah sendiri yang merupakan salah seorang tokoh ternama dalam dunia tasawuf yang dijuluki sebagai Shahib al-Hikam, awalnya juga menentang dan mengingkari tasawuf. Ini ia ceritakan dalam kitabnya Lathaif al-Minan. Dalam bukunya ini ia bercerita tentang pertemuannya dengan sang guru ; Abu al-Abbas al-Mursi.
“Aku termasuk orang yang sering mengkritik dan menentang Syekh ini (maksudnya Abu al-Abbas al-Mursi). Bukan karena ada sesuatu yang meragukan yang aku dengar langsung darinya atau yang disampaikan orang yang bisa dipertanggungjawabkan informasinya, melainkan karena polemik (mukhasamah) yang terjadi antaraku dengan beberapa orang muridnya. Itulah yang membuatku berkomentar negatif tentang mereka.
Tapi suatu hari aku berkata pada diri sendiri, “Mungkin ada baiknya aku pergi langsung mendengarkan perkataan orang ini (Syekh Abu al-Abbas). Orang yang benar tentu akan tampak tanda-tandanya (baik dalam perkataan maupun perbuatannya). Akhirnya aku datang ke majelisnya.