REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berharap tentu tidak ada salahnya. Namun, bukan berarti tak salah, manusia menanggalkan esensi dari pengharapan itu sendiri.
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan, sudah sewajarnya setiap manusia memiliki pengharapan. Meski demikian, yang patut diingat, harapan yang sesungguhnya ialah harapan yang dapat mendorong seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja atau beramal.
Beliau berkata: “Ar-rajaa-u maa qaaranahu amalun wa illa fahuwa umniyyatun,”. Yang artinya: “Sebuah harapan tentu harus disertai tindakan. Jika tidak, maka ia tidak lebih dari sekadar angan-angan,”.
Harapan tanpa tindakan disebut sebagai angan-angan. Maka itu, kata Ibnu Athaillah, orang yang berharap akan sesuatu tentunya dia akan berusaha mewujudkannya. Adapun orang yang takut terhadap sesuatu, maka dia akan menghindarinya.
Di saat sebuah harapan tidak diikuti dengan tindakan nyata, bahkan pelakunya merasa malas dan enggan bekerja, atau bahkan harapan itu justru mendorong kepada maksiat dan dosa, maka menurut para ulama, itu bukanlah tergolong harapan. Melainkan hanya angan-angan belaka yang menyesatkan.
Angan-angan, kata beliau, merupakan salah satu tanda ketertipuan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-A’raf penggalan ayat 169: “Fakhalafa min ba’dihim khalfun waritsuul-kitaaba ya’khudzuna aradha hadzal-adnaa wa yaquluuna sayughfiru lana,”.
Yang artinya: “Maka datanglah sesudah generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: ‘kami akan diberi ampun’,”. Ibnu Athaillah menjelaskan, orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa merasa dirinya hina, dan ia beramal untuk masa setelah kematian.
Adapun nafsunya orang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsu. Sedangkan ia berharap pada Allah dengan harapan-harapan palsu.