Oleh karena itu, hamba al-Fattâh harus mampu meneladani sifat ini dengan senantiasa menjadi pembuka jalan kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi sesama. Tidak sepatutnya hamba al-Fattâh berkarakter hasud, dengki, tamak dan rakus dengan melakukan korupsi, menutup jalan kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang bagi sesama, sehingga melakukan kerusakan di muka bumi (fasad fi al-ardh) dan merugikan umat manusia.
Dengan demikian, sebagai hamba al-Fattâh, pertama, kita harus meyakini bahwa Pembuka pintu rahmat itu adalah Allah SWT, bukan dukun atau paranormal yang kerap kali dimintai pertolongan untuk membuat usaha manusia laris manis dan cepat kaya. Kedua, rahmat, kasih sayang dan keberkahan yang diberikan oleh-Nya itu tidak akan salah alamat. Karena itu, hamba harus berbaik sangka kepada al-Fattâh sekaligus mensyukuri segala karunia-Nya.
Ketiga, hamba harus terus-menerus berbaik hati dan berempati kepada sesama dengan membatu melapangkan jalan terbukanya rahmat dari Allah kepada orang lain. Keempat, hamba harus menunjukkan rasa tanggung jawab atas semua kenikmatan dan rahmat yang diberikan oleh-Nya dengan mendayagunakannya untuk meningkatkan iman, ilmu, dan amal shalih, bukan untuk kesenangan dan kemaksiatan.
Kelima, hamba harus bersikap super hati-hati agar jangan sampai kesenangan duniawi itu merupakan istidraj yang berakibat kebinasaan dan kesengsaraan dunia dan akhirat. Keenam, hamba perlu mengawal dan menyertai segala usahanya dengan berdoa kepada al-Fattâh, termasuk berdoa ketika masuk rumah-Nya (masjid).
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2017
https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/02/27/al-fattah-allah-yang-maha-pembuka-rahmat/