Rabu 26 Jan 2022 23:07 WIB

Ketika Kepakaran Ulama tak Diakui Keluarga atau Lingkungan Terdekat

Terkadang kealiman ulama tak mendapat pengakuan keluarga

Ilustrasi ulama. Terkadang kealiman ulama tak mendapat pengakuan keluarga.
Foto:

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

Kedua, tingkat pemahaman manusia berbeda-beda. Ada orang yang bisa diajak bicara tentang dalil dan istidlal. Ia mengerti dasar-dasar berpikir rasional. Ia tahu bagaimana alur berpikir yang benar. Tapi ada orang yang sulit memahami lika-liku berpikir yang ‘rumit’ itu. 

Ia hanya ingin mendengar jawaban yang tegas-tegas saja, “Halal atau haram,” “Boleh atau tidak boleh.” Kalau disampaikan bahwa masalah tertentu tidak bisa dijawab dengan cara seperti ini, melainkan harus melihat berbagai hal, memperhatikan banyak faktor dan jawabannya boleh jadi tidak bersifat pasti, melainkan misalnya “Kalau begini kondisinya maka boleh, tapi kalau begini maka tidak boleh,” ia akan bertambah pusing. 

Ketiga, ada tipe manusia yang mudah diyakinkan dengan argumentasi ilmiah dan logika yang kuat, tapia ada juga tipe manusia yang lebih mudah diyakinkan dengan retorika dan ketokohan. 

Kita tidak bisa menyalahkan tipe kedua ini karena sebagaimana Allah membagi rezeki, Dia juga membagi akal (كما قسم الأرزاق قسم العقول). 

Maka sikap yang baik dalam menghadapi berbagai tipe dan tingkat pemahaman masyarakat adalah memahami itu sebagai karunia dari Allah ; الله يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر .  

Orang yang sudah terbiasa dengan argumentasi-argumentasi ilmiah dan cara berpikir yang logis, bersyukurlah kepada Allah SWT, dan tidak perlu memandang rendah pada orang yang lebih mudah diyakinkan dengan retorika dan cara penyajian meski tidak argumentatif.  

Hanya yang perlu diingatkan adalah kalau kita tidak bisa dan tidak terbiasa dengan hal-hal yang logis atau dalil-dalil yang argumentatif maka jangan memaksakan diri masuk ke ranah itu. Serahkan pembahasan tentang itu kepada orang-orang yang sudah mendedikasikan dirinya untuk mengkaji hal-hal rumit tersebut.    

Meskipun mampu memberikan jawaban dengan berbagai dalil dan argumentasi, namun Abu Hanifah tidak melakukan hal itu pada ibunya. Ia tidak memaksa ibunya untuk mendengar jawaban yang berdalil dan argumentatif. Apalagi sebagai seorang anak yang berbakti beliau akan mengikuti apapun keinginan ibunya. 

Di sisi lain, Umar bin Dzar yang lebih ‘digandrungi’ oleh sang ibu daripada puteranya sendiri yang tak lain adalah guru dari sosok idolanya, ternyata adalah seorang dengan kepribadian yang matang dan keluasan jiwa yang luar biasa. 

Dikisahkan, ada seorang perawi hadits bernama Abdullah bin ‘Ayyash al-Mantuf mencela, menghina dan memburuk-burukkan Umar bin Dzar. Suatu kali, Umar bin Dzar bertemu dengannya. Umar berkata, “Hai engkau, jangan terlalu berlebihan mencela kami. Tinggalkan juga ruang untuk berbaikkan.”  

Kemudian Umar melanjutkan dengan kalimat yang menjadi slogan para hamba Allah yang shaleh dalam menghadapi para pendengki dan pencaci : 

فَإِنَّا لاَ نُكَافِئُ مَنْ عَصَى اللهَ فِيْنَا بِأَكْثَرَ مِنْ أَنْ نُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ 

“Kami tidak akan membalas orang yang mendurhakai Allah dengan cara mencela kami kecuali dengan mentaati Allah dengan memaafkannya.”  

 

اللهم حلنا بالأخلاق الحسنة وخلنا من الأخلاق السيئة  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement