Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, —Siapa yang tak kenal Imam Abu Hanifah? Pengasas mazhab terbesar dalam Islam, Mazhab Hanafiyyah. Imam Syafii pernah berkata, “Manusia berhutang budi pada Abu Hanifah dalam bidang fiqih.” Imam adz-Dzahabi bahkan menjulukinya sebagai faqih al-millah.
Tapi tahukah kita, ternyata ibu Abu Hanifah tidak ‘mengakui’ keilmuan anaknya sendiri. Ketika ibunya ragu tentang sebuah permasalahan, ia minta untuk dibawa ke hadapan Umar bin Dzar. Siapa Umar bin Dzar? Ia adalah seorang qash (untuk masa ini mungkin lebih tepat disebut sebagai ustadz atau muballigh). Dan ia ternyata adalah murid dari Abu Hanifah sendiri.
Demi memenuhi keinginan ibunya, Abu Hanifah membawa ibunya menghadap Umar bin Dzar. Sesampai di majelis Umar bin Dzar, ibunya duduk di pojok masjid, sementara sang Imam datang menemui Umar bin Dzar.
“Ibuku menanyakan sesuatu padamu,” kata Abu Hanifah membuka percakapan.
“Bagaimana mungkin wahai Imam, sementara aku adalah muridmu,” ucap Umar dengan nada kaget.
Abu Hanifah meminta Umar bin Dzar untuk bersedia menjawab pertanyaan ibunya.
Setelah mengetahui pertanyaan sang ibu, Umar bertanya pada Abu Hanifah apa jawabannya. Abu Hanifah pun memberi tahu jawabannya. Setelah tahu jawabannya, dengan suara keras (agar terdengar oleh ibu Abu Hanifah yang duduk agak jauh) Umar bingung Dzar berkata, “Pertanyaan yang engkau lontarkan wahai Abu Hanifah, jawabannya begini dan begini.”
Setelah mendengarkan jawaban dari Umar bin Dzar, ibunda Abu Hanifah pun merasa puas. Setelah itu ia pun pulang ditemani anaknya, Imam Abu Hanifah.
Banyak hal yang bisa dipetik dari kisah ini yaitu pertama pertama, kisah ini memperkuat ungkapan yang berbunyi :
أَزْهَدُ النَّاسِ بِالْعَالِمِ أَهْلُهُ
“Orang yang paling zuhud (merasa tidak perlu) pada seorang alim adalah keluarganya sendiri.”
Betapa banyak orang alim yang lebih dihormati dan dihargai keilmuannya justru oleh orang atau masyarakat lain. Sementara lingkungannya sendiri, bahkan keluarganya sendiri, tidak menyadari atau tidak peduli sama sekali pada keilmuan sang alim.
Tentu saja ini tidak bisa digeneralisasi. Karena tidak sedikit juga orang alim yang tidak dihargai keilmuannya karena kepribadiannya yang kurang baik.
Akhirnya masyarakat tidak menaruh rasa hormat kepadanya karena sudah tahu siapa dia. Terlebih lagi kalau sosok alim tersebut hanya ‘hebat’ di luar, tapi tidak hebat dalam keluarganya sendiri. Inilah di antara makna hadits :
اخْبُرْ تَقْلُهُ “Kenalilah lebih dekat maka engkau akan membencinya.”