Sabtu 18 Sep 2021 04:53 WIB

Pendapatan Pasif dalam Pandangan Islam

Islam tidak mengenal istilah pendapatan pasif.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Pendapatan Pasif dalam Pandangan Islam
Foto:

"Kalau Anda berinvestasi lalu hasil keuntungannya dianggap pendapatan pasif, menurut syariat itu tidak tepat. Karena prinsipnya, orang kalau mau mendapat untung ya harus siap menanggung rugi," kata Direktur Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Institute itu.

Azharuddin mengakui, keuntungan memang selalu ada potensinya dan bisa diproyeksikan. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah keuntungan yang telah diproyeksikan itu pasti terjadi dan kerugian pasti bisa dihindari? Gaya ekonomi kapitalis memang menghendaki demikian, yaitu kepastian memperoleh keuntungan dan tidak mau rugi.

"Kalau di syariah itu nggak bisa. Seseorang yang mendapat keuntungan maka harus siap menanggung risiko, termasuk dalam akad jual-beli. Meski harga sudah bisa dikalkulasikan, tetap saja ada risiko. Misalnya, siapa tahu barang yang kita jual itu jatuh. Ini menjadi tanggung jawab kita sebagai penjual," ujarnya.

Sekalipun sukuk negara, seperti Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), tetap saja ada risiko karena ada kemungkinan negara gagal bayar. Terlebih sukuk korporasi yakni sukuk yang diterbitkan perusahaan.

Contohnya lainnya adalah kondisi maskapai Garuda sekarang. Perusahaan pelat merah itu menerbitkan sukuk global dan tak sedikit investor asing yang memborong karena tidak pernah mengira Garuda akan berada dalam titik terendah seperti saat ini.

"Jadi, menurut syariah, tidak ada istilah pendapatan pasif dalam investasi karena setiap orang harus siap menanggung risiko meskipun risiko itu bisa dimitigasi dengan cara memilih portofolio yang relatif aman. Tetapi risiko itu harus siap diterima dalam kondisi terburuk," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement