Selasa 11 May 2021 04:04 WIB

Seni dalam Jejak Nada Adzan

Sejak masa awal Islam, adzan telah dikumandangkan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Suara adzan kembali berkumandang pada Jumat (1/7) kemarin dari dalam bangunan Hagia Sophia untuk pertama kalinya sejak 85 tahun.
Foto:

Meskipun suara merdu adalah suatu keharusan, secara historis para muazin membutuhkan kualifikasi tambahan misalnya menguasai tajwid, aturan pengucapan, dan penjaga waktu agar dapat menentukan waktu secara akurat.

Syekh Ahmed Saad, direktur Ihsan Institute, pusat studi Islam yang berbasis di Inggris, mengatakan, mereka juga harus cukup fit untuk memanjat (dan menuruni) tangga spiral panjang ke puncak menara lima kali sehari. "Akan lebih mudah melatih untuk tentara," kata dia bercanda.

Kata-kata yang kini digunakan sebagai adzan muncul beberapa tahun setelah kedatangan Islam. Pada awalnya, umat Muslim di Arab abad ke-7 dengan jumlah mereka yang masih sedikit, akan memberi tahu satu sama lain bahwa sudah waktunya untuk berdoa dari mulut ke mulut. 

Namun seiring bertambahnya jumlah mereka, Nabi Muhammad dan para sahabatnya sering mendiskusikan cara terbaik untuk mengumpulkan komunitas untuk sholat. Sebuah tanduk, mirip dengan shofar Yahudi, dianggap seperti lonceng seperti yang digunakan oleh orang Kristen untuk memanggil orang ke kebaktian gereja.

Salah satu hadits menyatakan bahwa seorang sahabat nabi, Abdullah bin Zaid, bermimpi menyuruhnya menggunakan suara manusia untuk membuat azan, dan bahwa dia juga diberitahu kata-kata itu yang kemudian dibacakan.

Bilal bin Rabbah al-Habashi, seorang budak Abyssinian yang dibebaskan dan masuk Islam pada masa awal, dipilih untuk menyerukan adzan karena suaranya yang indah. Kata-kata yang sama dari mimpi abad ke-7 itu masih diucapkan sampai sekarang, dengan beberapa frasa yang diulang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement