Namun, penayangan program televisi tersebut dicegah oleh otoritas Mesir kala itu. Bahkan, keluarga Mahmoud diminta untuk mencegah penerbitan berbagai artikel di surat kabar, sekaligus untuk menghentikan program terkenal tersebut. Ini karena Mahmoud yang bersikeras mengungkap akar dan ambisi negara pendudukan Israel.
Adham, putra Mustafa Mahmoud, mengatakan rezim Presiden Mesir Hosni Mubarak mencegah artikel ayahnya diterbitkan pada pertengahan tahun 1990-an. Setelah ayahnya wafat, Adham menjelaskan dalam tayangan di televisi bahwa mantan direktur Kantor Presiden Republik untuk Urusan Politik, Osama El-Baz, mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Direksi surat kabar Al-Ahram saat itu, Ibrahim Nafi.
Lalu, Osama El-Baz meminta Ibrahim Nafi untuk mencegah pemuatan artikel Mustafa Mahmoud setelah menerbitkan artikel yang membuat marah para pemimpin Israel dan organisasi Yahudi. Penyebabnya tidak hanya karena penolakan terhadap tulisan-tulisan Mahmoud tetapi juga mencakup isi program "Sains dan Iman" yang menunjukkan Israel memainkan peran besar dalam menghentikan penayangan program tersebut di saluran terestrial Mesir.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh jurnalis Al-Harrani, penulis buku Mudzakkarat Mustafa Mahmoud (Biografi Mustafa Mahmoud). Ia menjelaskan, mendiang Mahmoud menghadapi isolasi politik pada akhir tahun 1990-an oleh negara karena pemikirannya bertentangan dengan negara pada saat itu.
Posisi negara Mesir menjadi jelas ketika Mustafa Mahmoud meninggal dunia. Sebab, tidak ada pejabat Mesir yang hadir. Hal ini mendorong jurnalis Wael Al-Ibrashi untuk berkomentar pada saat itu mengenai sikap resmi pemerintah yang mengabaikan Mahmoud.
Al-Ibrashi mengatakan, Mustafa Mahmoud adalah sosok yang berbahaya bagi Israel karena dialah satu-satunya yang menghadapi Israel melalui doktrin, sejarah, dan ilmu pengetahuan yang cermat. Ini menyebabkan rasa malu yang parah bagi pejabat negara Mesir, yang mungkin menjadi alasan mengapa mereka mengabaikannya selama masa sakit Mahmoud hingga akhir hayat.
Sumber: Aljazirah