Jumat 18 Mar 2022 18:56 WIB

Nikah Siri dalam Perspektif Hadits Nabi

Istilah nikah siri telah dikenal oleh umat Islam sejak generasi pertama.

Ilustrasi Pernikahan. Nikah Siri dalam Perspektif Hadits Nabi
Foto:

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Semua rawinya tsiqah dan bersambung sampai nabi. Karenanya derajat hadits ini shahih. Dengan demikian perintah agar pernikahan harus dilakukan secara terang-terangkan dan diumumkan di muka umum sangat jelas dan tidak terbantahkan.

Dua kedudukan saksi di atas saat ini memiliki permasalahan yang berbeda. Kedudukan saksi publik dalam pernikahan tidak memiliki banyak persoalan. Perintah untuk mengumumkan pernikahan ke publik cukup jelas dan rajih. Selain itu persoalan saksi publik ini tidak mengalami perubahan berarti seiring dengan adanya perubahan struktur dan sistem sosial dari masa Nabi saw ke masa sekarang.

Berbeda halnya dengan kedudukan saksi sebagai bukti hukum. Adanya perubahan stuktur dan sistem sosial, dari model masyarakat kesukuan ke sistem negara modern, memiliki implikasi yang sangat berarti bagi kedudukan saksi hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa struktur sosial pada masa awal dakwah Islam adalah masa transisi dari struktur kesukuan menuju struktur masyarakat semi modern. Meskipun demikian ciri struktur kesukuan belum hilang sepenuhnya dari struktur masyarakat Muslim.

Dalam struktur masyarakat kesukuan, kesaksian personal sudah dianggap cukup sebagai bukti hukum. Kesaksian tersebut dapat dijadikan alat bukti hukum di depan pemimpin masyarakat dalam memberikan keputusan hukum.

Akan tetapi dalam konteks negara modern, kesaksian personal dinilai sangat lemah. Negara modern ditopang oleh sistem administrasi dan dokumentasi tertulis. Karena itulah keabsahan hukum di negara modern ditentukan oleh catatan administrasi dan dokumen negara.

Di sinilah umat Islam harus cerdas dalam menangkap esensi saksi dalam pernikahan. Saksi tersebut bukan semata-mata saksi publik, yang cukup diketahui hanya sekedar untuk melegalkan hubungan seorang laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya kedudukan saksi publik ini justru dimanfaatkan oleh banyak pasangan yang ingin melegalkan hubungan gelap mereka. Keabsahan agama kemudian diperalat untuk mengesahkan status mereka.

Kedudukan saksi hukum juga sangat signifikan, khususnya berkaitan dengan hak-hak hukum bagi semua pihak, baik suami, istri, maupun anak-anak yang dilahirkan dari keduanya. Misalnya ketika suatu pernikahan tidak dicatatkan dalam dokumen negara, maka anak yang dilahirkan pun tidak dapat dicatatkan dalam dokumen negara.

Anak tersebut tidak bisa dibuatkan akta kelahiran. Akibatnya dia dapat kehilangan hak-hak yang diberikan oleh negara kepadanya, seperti hak mendapatkan pendidikan yang layak dan hak-hak anak lainnya.

Belum lagi kalau terjadi perceraian. Istri dan anak sangat rentan kehilangan hak-haknya. Negara tidak memiliki saksi hukum yang dapat menjerat sang suami agar memenuhi hak-hak istri dan anak yang ditinggalkannya. Saksi publik tidak cukup kuat untuk menekan agar sang suami memenuhi kewajibannya.

Tanpa jerat hukum dari negara, sang suami tersebut hanya akan mendapatkan sanksi sosial yang sangat lemah. Sanksi tersebut tidak akan mampu mengembalikan hak-hak istri yang diceraikan, dan anak yang ditinggalkan.

Pentingnya saksi hukum ini dapat dilihat dari besarnya ekspektasi al-Qur’an terhadap pernikahan. Al-Qur’an surat Al-Rum ayat 21 menegaskan bahwa pernikahan bukan semata-mata untuk penyaluran nafsu birahi, bukan pula sekedar melahirkan keturunan, melainkan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Inti dari tujuan pernikahan tersebut adalah keluarga yang berkualitas. Keluarga seperti inilah yang dapat menjadi infestasi jangka panjang dalam membangun peradaban dunia yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.

Dengan demikian, dari perspektif kajian terhadap hadits-hadits di atas, pencatatan pernikahan dalam dokumen negara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kedudukan saksi dalam pernikahan. Karena itu, di mata agama maupun negara, nikah sirri sama-sama tidak sah.

Wallahu a’lam

Sumber: Majalah SM No 6 Tahun 2010

 

Link artikel asli

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement