Tujuannya tidak lain untuk mendidik anak sejak dini agar memanggil orang tuanya dengan panggilan sopan dan bukan memanggil orang tua dengan namanya saja.
Namun apakah panggilan suami pada istri dengan panggilan mama, ibu, umi, bunda itu sama dengan talak zhihar. Ada tiga alasan, panggilan tersebut tidak disebut sebagai zhihar.
Pertama, panggilan ibu, mama atau bunda itu beda kasus dengan zhihar yang terjadi sejak masa Jahiliyah. Orang Jahiliyah ketika marah pada istrinya selalu mengucapkan anti ‘alayya ka zhari ummi, bagiku, dirimu itu sama seperti punggung ibuku.
Pada waktu itu, perkataan ini ditujukan untuk memposisikan istri sama seperti ibu kandung. Artinya, ketika seorang lelaki mengatakan perkataan di atas tidak lagi boleh menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Hal ini sebagaimana seorang anak dilarang menggauli ibu kandungnya sendiri. Selain itu, suami juga tidak lagi bertanggung jawab menafkahi istri dan anak-anaknya. Tradisi buruk yang merugikan perempuan ini juga terjadi pada masa Nabi yang kemudian menyebabkan turunnya surah al-Mujadalah ayat pertama.
Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhahr (punggung). Pada waktu itu, punggung perempuan merupakan simbol keindahan tubuh perempuan yang membuat libido lelaki memuncak.
Seperti disebutkan di atas, bahwa tujuan penyamaan diri istri dengan punggung ibu itu sama saja dengan mengharamkan dirinya sendiri untuk berhubungan badan dengan istrinya itu, karena ibu pada masa Jahiliyah pun tidak boleh dinikah apalagi berhubungan badan dengannya.
Ketiga, niat dari suami ketika memanggil istri itu biasanya sebagai bentuk mengajari kepada anaknya. Sama sekali tak berniat untuk zhihar sebagaimana dalam tradisi jahiliyah.
Maka bisa dikatakan tradisi talak zhihar ini tidak ditemukan di Indonesia, tidak dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Bahkan Ibnu Asyur menyebutkan bahwa tradisi zhihar itu hanya dikenal oleh masyarakat Madinah (Yatsrib) saja, tidak dikenal di Makkah. Maka, memanggil istri dengan sebutan bunda, mama, ibu bukanlah zhihar.