Selasa 28 Sep 2021 13:57 WIB

Menyikapi Takdir, Pasrah atau Berusaha?

Para sahabat Nabi memahami takdir sebagai penyerahan diri kepada Allah.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Ani Nursalikah
Menyikapi Takdir, Pasrah atau Berusaha?
Foto:

“Jadi, saya ingin beri gambaran, Nabi dan sahabat-sahabat beliau itu tidak berbicara tentang takdir dalam arti dan tidak menjelaskanya, tidak mendiskusikannya dengan cara pendiskusian ulama-ulama al-kalam, para teolog,” ujar mantan menteri agama kabinet Pembangunan VII itu.

Bahkan pernah satu ketika, ini hadits diriwayatkan Imam Muslim, bersumber dari Sayydina Ali. ‘Nabi bersabda: Tidak ada seorang pun di antara kamu kecuali telah diketahui oleh Allah di mana tempatnya, di surga atau neraka. Allah sudah tahu tempatnya, surga atau neraka’.

Sewaktu Nabi meyampaikan itu, sahabat-sahabat bertanya. ‘Kalau begitu, kita andalkan saja ini apa keputusan Allah SWT. Nabi SAW berkata: bisa jadi ada di antara kamu yang melakukan amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang baik. Tapi pada akhir hidupnya dia melakukan amal buruk hingga dia masuk neraka. Bisa juga sebaliknya’.

‘Sahabat berkata: kalau begitu ya sudah kita tidak usah berusaha. Nabi bersabda lagi: I’maluu (kamu harus berusaha), fa kullun muyassarun limaa khuliqallah (semua akan dipermudah untuk melakukan apa yang sesuai dengan pengetahuan Allah itu)’.

Kemudian Nabi membaca: fa ammaa man a’thaa wattaqaa wa shaddaqa bil husnaa fa sayunassiruhuu lil yusraa (siapa yang mau memberi, dan dia percaya pada kalimat tauhid, maka Allah akan mempermudah jalannya. Wa amma man bakhila wastaghnaa (adapun yang kikir, tidak mau percaya).

Alquran memang membicarakan tentang takdir, Nabi menjelaskan salah satu dari rukun iman itu adalah percaya pada takdir Allah SWT entah itu baik atau buruk. Menurut mereka, kita tidak usah mendiskusikan apa itu takdir. Yang penting kita percaya, kalau sudah terjadi dan sebelum terjadinya, kita harus berusaha. Itulah sikap sahabat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement