Rabu 21 Jul 2021 17:28 WIB

Rujuk Fatwa Ulama Maroko, Contoh Kasus Panjangkan Jenggot 

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memelihara jenggot

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memelihara jenggot. Laki laki yang sedang mencukur kumis dan jenggot  (ilustrasi).
Foto:

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

 

Tapi kemudian Syekh Abdul Aziz terus mengkaji masalah ini. Apakah benar memanjangkan jenggot itu adalah wajib? Apakah benar mencukurnya adalah haram? Lalu mengapa banyak juga ulama yang mengatakan bahwa memanjangkan jenggot itu hanyalah sunnah? Apa dalil yang mereka gunakan? 

Setelah melakukan pengkajian yang cukup dalam beliau akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa memanjangkan jenggot itu hukumnya sunnah. Itu artinya mencukurnya adalah makruh, bukan haram.

Rujuk-nya beliau dari pendapat lama bahwa memanjangkan jenggot itu wajib kepada pendapat baru bahwa memanjangkan jenggot itu sunnah bukanlah sebuah aib atau sesuatu yang tercela, karena perubahan pendapat ini terjadi atas dasar pengkajian dan ijtihad dari seorang yang memiliki perangkat untuk melakukannya. 

Beliau bahkan menulis buku tentang perubahan pendapatnya ini yang berjudul : إفادة ذوى الأفهام بأن حلق اللحية مكروه وليس بحرام  Di antara dalil yang mendasari pendapat beliau yang baru ini adalah: 

Pertama, hadits tentang perintah memanjangkan jenggot dan mencukur kumis ini bersifat mu'allal, ada 'illah (motif/sebab) di balik perintah itu yaitu agar berbeda dengan orang-orang musyrik (dalam hadits riwayat Muslim agar berbeda dengan Majusi, dalam riwayat Imam Ahmad dan yang lainnya agar berbeda dengan Yahudi dan Nasrani). 

Sementara keharusan untuk berbeda dengan orang musyrik, Majusi, Yahudi, dan Nasrani bukanlah sesuatu yang selalu wajib. Apalagi dalam masalah yang tidak berkaitan dengan tauhid atau akidah. 'Hanya' masalah pakaian dan penampilan luar (tanpa mengecilkan arti pakaian, penampilan luar dan simbol-simbol lainnya).  

Ada banyak hadits yang di dalamnya Nabi Muhammad memerintahkan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik, Majusi, Yahudi, dan Nasrani, tapi perintah itu hanya bersifat anjuran, bukan kewajiban. Buktinya, para sahabat sendiri tetap melakukannya.

Para ulama juga mengkategorikannya sebagai sesuatu yang sunnah, bukan wajib. Contohnya perintah untuk mewarnai rambut agar berbeda dengan Yahudi dan Nasrani, perintah untuk sholat menggunakan sandal agar berbeda dengan Yahudi, perintah untuk makan sahur agar berbeda dengan puasa Ahlul Kitab, dan sebagainya.  

Kenyataannya, para sahabat banyak yang tidak menghitamkan rambutnya dan tak ada yang mengingkari hal tersebut. Para ulama juga tidak ada yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal adalah wajib. Demikian juga tidak ada yang mengatakan bahwa makan sahur itu wajib. Jadi, berbeda dengan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tidak semuanya bersifat wajib, apalagi di luar masalah akidah dan ibadah mahdhah.       

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement