Berdasarkan redaksi eksplisit dari hadits-hadits di atas, fuqaha Zhahiriyah (ulama fiqih pengikut mazhab Dawud azh-Zhahiri) mengharamkan jual-beli kucing secara mutlak, segala jenis kucing haram diperjualbelikan. Dalam kaidah ushul fiqih juga dinyatakan: Kullu ma hurrima 'alal ibadi fabai'uhu haram (Segala sesuatu yang diharamkan terhadap manusia, maka menjualnya juga haram); padahal daging kucing itu haram dimakan, maka dengan sendirinya juga haram diperjualbelikan.
Sedangkan jumhur fuqaha empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) berpendapat jual-beli kucing itu harus dipilah menjadi dua kategori. Pertama, jual-beli kucing liar (sinnaur-Arab, kucing alasan Jawa) itu dilarang, haram hukumnya, karena tidak jelas pemiliknya dan tidak ada manfaatnya. Itulah yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas, yang dalam riwayat Muslim memang menggunakan kata sinnaur (kucing liar).
Kedua, jual beli kucing jinak (hirrah-Arab) diperbolehkan, sah akadnya, asal jelas pemiliknya dan ada manfaatnya karena pada dasarnya kucing itu bukan binatang yang najis. Walaupun dagingnya haram dikonsumsi, tetapi boleh dipelihara; seperti halnya keledai yang juga boleh dijualbelikan, boleh dipelihara, tetapi tidak boleh dikonsumsi dagingnya.
Dalam Islam, kucing (hirrah) mendapat tempat yang cukup terhormat. Ada sahabat yang dijuluki Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil) karena ke mana pun beliau pergi hampir selalu bersama kucing piaraannya, padahal nama asli beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.