Kamis 29 Apr 2021 01:20 WIB

Menelusuri Sejarah Alquran Braille di Indonesia

Mushaf Standar Braille tidak terlepas dari sejarah penyalinan Al Qur’an Braille.

Rep: Mabruroh/ Red: Agung Sasongko
Sejumlah penyandang disabilitas netra membaca Alquran braille di Yayasan Al Hikmah, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Ahad (18/4).
Foto:

Kementerian Agama melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 25 Tahun 1984 tentang Penetapan Mushaf Standar Indonesia. Disusul dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama Nomor 07 Tahun 1984 tentang Penggunaan Mushaf Standar, maka sejak saat itulah seluruh penerbitan Mushaf Braille di Indonesia mengacu pada Mushaf Standar Braille.   

Karakteristik Mushaf Standar Braille secara umum mempunyai kesamaan dengan Mushaf Braille lainnya karena ditulis dengan simbol Arab Braille, hasil standarisasi yang dilakukan Unesco pada 1951 di Beirut Lebanon. Hanya saja, dalam penerapan simbol-simbol Braille tersebut terdapat perbedaan, misalnya dalam penggunaan rasm, Mushaf Standar Braille menggunakan rasm usmani, sedangkan mushaf Braille lainnya menggunakan rasm imlai.

Meskipun demikian, penggunaan rasm usmani pada Mushaf Standar Braille tidak diterapkan secara utuh, melainkan dengan sejumlah pengecualian. Pengecualian dilakukan karena tidak semua penulisan berdasarkan kaidah rasm usmani bisa ditranskripkan ke dalam kode Braille, selain itu. Pengecualian juga berlaku pada kata-kata yang berpotensi menyulitkan bagi para pengguna jika ditulis dengan rasm usmani.

Sejak ditetapkan sebagai Mushaf Standar Indonesia, Mushaf Standar Braille belum pernah mengalami perubahan. Baru pada 2010 muncul usulan dari sejumlah praktisi dan pengguna Mushaf Braille yang dipelopori oleh Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) untuk melakukan kajian ulang terhadap Mushaf Standar Braille. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement