Kamis 29 Apr 2021 01:20 WIB

Menelusuri Sejarah Alquran Braille di Indonesia

Mushaf Standar Braille tidak terlepas dari sejarah penyalinan Al Qur’an Braille.

Rep: Mabruroh/ Red: Agung Sasongko
Sejumlah penyandang disabilitas netra membaca Alquran braille di Yayasan Al Hikmah, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya, Ahad (18/4).
Foto:

Mushaf Braille pertama di dunia ini diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak 1954, ketika Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia (LPPBI) yang bernaung di bawah Departemen Sosial dan berkedudukan di Bandung menerima kiriman Al-Qur’an Braille dari UNESCO.

Sejak saat itulah, Supardi bersama dengan rekan-rekannya di bawah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis), mulai mengembangakan mushaf Braille dengan mengacu pada sistem yang digunakan dalam Mushaf Braille Yordan.  

Kemudian pada fase adaptasi, mulai bermunculan ragam penulisan Mushaf Braille di Indonesia. Mulai dari mushaf Braille yang mengacu pada pola penulisan (rasm) yang digunakan pada Mushaf Yordan, kemudian versi Yaketunis yang mengadaptasi sistem penulisan Mushaf Braille Pakistan, dan muncul pula upaya penyalinan mushaf Braille yang dilakukan oleh Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) Bandung. 

Versi Yaketunis mengikuti rasm imlai sebagaimana yang digunakan dalam Mushaf Yordan dan Pakistan, sedangkan versi YPWG memilih menggunakan rasm usmani seperti yang digunakan pada mushaf cetak saat itu. Sejak itu, mushaf Braille di Indonesia terbagi menjadi dua versi dan masing-masing mempunyai para pengguna setia, hingga muncu polemik di kalangan tunanetra muslim Indonesia.

Kemudian Kementerian Agama mulai mencari titik terang dengan menggelar Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an yang dilakukan sebanyak sembilan kali. Muker tersebut dihadiri juga oleh para ulama dan praktisi Al-Qur’an Braille.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement