Rabu 07 Apr 2021 14:23 WIB

Akar Kajian Penentuan Waktu Subuh dalam Fiqih Klasik

Penentuan waktu subuh pernah menjadi studi di kalangan ulama klasik

Penentuan waktu subuh pernah menjadi studi di kalangan ulama klasik. Sholat subuh berjamaah (Ilustrasi)

Konsep ini menjadi pedoman Badan Hisab Rukyat (Kementerian Agama), dirujuk semua ormas Islam di Indonesia. Pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin ini juga dipraktikkan di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Namun, sejak 1440 H/2019 M, Malaysia meninggalkan konsep Syekh Tahir Jalaluddin dan mengubahnya jadi 18 derajat berdasarkan hasil riset kerja sama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia dan peneliti berbagai universitas di Malaysia.

Keputusan itu dilaksanakan bertahap. Mula-mula Negeri Selangor pada 2 Rabiul Akhir 1441/29 November 2019, diikuti wilayah persekutuan 3 Rabiul Akhir 1441/30 November 2019, dan Negeri Kelantan pada 24 April 2020.

Jadi, Malaysia merupakan negara pertama anggota MABIMS, yang melakukan perubahan awal Subuh dengan menambah delapan menit dibandingkan jadwal sebelum nya. Di Indonesia, kaji ulang anggitan fajar sudah lama diwacanakan.

Pada Musyawarah Nasional ke-27 Tarjih pada 1431 H/2010 M di Universitas Muham madiyah Malang, wacana keinginan perubahan sangat terasa ketika sidang komisi. Namun, saat itu belum ada data hasil observasi dan argumentasi syar'i yang memadai, maka sidang memutuskan melakukan riset terlebih dahulu dan mengkaji dalil syar'i secara komprehensif. 

Sesuai amanat munas Tarjih tersebut, tim pemburu fajar di lingkungan Muhammadiyah melakukan observasi di berbagai tem pat secara berkelanjutan, baik di dalam maupun luar negeri. Dari hasil observasi, diperoleh data lengkap. Selain itu, tim mengkaji aspek syar'i dan diperoleh dalil syar'i memadai. 

Agar tak terjadi subjektivitas tinggi, Munas Tarjih Muhammadiyah mengundang astronom pihak luar guna memberi masukan agar keputusan sesuai tuntutan syar'i dan sains serta bermaslahat bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia.

Setelah mempertimbangkan aspek hadlaratun nash, hadlaratul ilm, dan hadlaratul falsafah sesuai Manhaj Tarjih dan kemaslahatan, Munas ke-31 Tarjih pada 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442 H/29 November- 20 Desember 2020 memutuskan, kriteria awal Subuh berdasarkan acuan 20 derajat perlu dikoreksi menjadi 18 derajat.

Keputusan ini sudah ditanfiz dan rencananya diberlakukan dalam pembuatan jadwal imsakiah Ramadhan 1442 H ini. Dengan kata lain, Muhammadiyah akan mengubah jadwal waktu Subuh, dengan menambah delapan menit dibandingkan jadwal yang selama ini dipedomani.

Berdasarkan uraian di atas, penentuan awal waktu Subuh adalah persoalan ijtihadi. Maka itu, perubahan adalah keniscayaan menuju pemahaman lebih komprehensif agar sesuai tuntutan syar'i dan sains.

Sikap terbuka dan saling memahami serta mengapresiasi perlu diutamakan, agar tak terjadi ketegangan di arus bawah. Perbedaan yang terjadi harus disikapi secara asertif dan menghindari truth claim berlebihan. 

 

 

*Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement