Senin 01 Feb 2021 20:11 WIB

3 Pelajaran dari Kisah Nabi Musa dalam Surat Al-Qashash

Terdapat pelajaran penting dari kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat pelajaran penting dari kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash. Alquran (ilustrasi)
Foto:

3. Keadilan membutuhkan kesabaran. Allah berfirman dalam ayat 15-17: 

وَدَخَلَ الْمَدِيْنَةَ عَلٰى حِيْنِ غَفْلَةٍ مِّنْ اَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيْهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلٰنِۖ هٰذَا مِنْ شِيْعَتِهٖ وَهٰذَا مِنْ عَدُوِّهٖۚ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِيْ مِنْ شِيْعَتِهٖ عَلَى الَّذِيْ مِنْ عَدُوِّهٖ ۙفَوَكَزَهٗ مُوْسٰى فَقَضٰى عَلَيْهِۖ قَالَ هٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِيْنٌ قَالَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ قَالَ رَبِّ بِمَآ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ اَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِّلْمُجْرِمِيْنَ

Wa dakhalal-madīnata 'alā ḥīni gaflatim min ahlihā fa wajada fīhā rajulaini yaqtatilāni hāżā min syī'atihī wa hāżā min 'aduwwih, fastagāṡahullażī min syī'atihī  'alallażī min 'aduwwihī fa wakazahụ mụsā fa qaḍā  'alaihi qāla hāżā min 'amalisy-syaiṭān, innahụ 'aduwwum muḍillum mubīn. qāla rabbi innī ẓalamtu nafsī fagfir lī fa gafara lah, innahụ huwal-gafụrur-raḥīm. qāla rabbi bimā an’amta ‘alayya fa lan akụna ẓahīral lil-mujrimīn. 

“Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki sedang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (kaum Firaun). Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, “Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan.”

Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” 

Kemarahan bukanlah bagian terpenting dari keadilan melainkan kesabaran dan kebijaksanaan. Sebelum memutuskan suatu tindakan, nilai dengan cermat apa yang akan Anda katakan dan lakukan.

Islam tidak mengajarkan untuk memihak suatu masalah tanpa memahami kedua belah pihak.

Keputusan terburu-buru yang didorong oleh kemarahan dan emosi yang tidak terkendali tidak membantu penyebab yang adil. Konsekuensinya bisa merugikan. Jadi kehati-hatian harus dilakukan agar setan tidak memanfaatkan ketergesaan Anda. 

Sumber: aboutislam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement