Jumat 12 Jun 2020 11:23 WIB

Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah.

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Foto:

Ketertarikan tersebut disebabkan ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatra Barat, yaitu agar umat Islam kembali pada ajaran tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal dari umat-umat lain. Selain itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk-beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi.

Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih kurban selepeas menunaikan sholat Idul Adha dan membagikannya kepada fakir miskin. Pada 1923, Sutan Mansur menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh serta menjadi guru agama.

Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap pemangku adat dan tokoh setempat sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.

Pada 1927, bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekatan raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mandawai, dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar Pulau Jawa.

Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana KH Ahmad Dahlan pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS Tjokroaminoto maupun H Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.

Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap keresidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau (Sumatra Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatra akibat terputusnya hubungan Sumatra dan Jawa.

Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Mubalighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina mubaligh tingkat atas. Di sini, kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minagkabau dan daerah-daerah sekitar dididik dan digembleng.

Kelak, mubaligh-mubaligh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah. Sutan Mansur, oleh konsul-konsul daerah lain di Sumatra, dijuluki Imam Muhammadiyah Sumatra.

Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938, Sutan Mansur menjadi penasihat agama bagi Bung Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkap oleh pemerintah Jepang menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR dan DPRD) mewakili Sumatra Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947 sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi imam atau guru agama Islam untuk Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatra, berkedudukan di Bukittingki, dengan pangkat mayor jenderal tituler.

Setelah pengakuan kedaulatan 1950, ia diminta menjadi penasihat TNI Angkatan Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah Sumatra untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement