Jumat 12 Jun 2020 11:23 WIB

Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah.

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Foto:

Pada 1952, Presiden Sukarno memintanya lagi menjadi penasihat presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittingi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasihat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.

Dalam kongres Masyumi tahun 1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah Pemilihan Umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Tahun 1958 ketika pecah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno meskipun peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak terlalu besar.

Buya Ar Sutan Mansur terpilih sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres. Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto, tahun 1953 mengukuhkannya sebagai ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada kongres Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.

Pada masa kepemimpinannya, upaya pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan sholat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji Alquran untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan takwa. Selain itu, diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antarpemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja di antara majelis dan cabang atau ranting banyak diselengarakan.

Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:

  • Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tahid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadhu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab
  • Melaksanakan uswatun hasanah
  • Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi
  • Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak
  • Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader
  • Memperoleh ukhuwah sesama Muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi terjadi keretakan dan perselisihan
  • Menuntun penghidupan anggota.

Msekipun setelah 1959 tidak lagi menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang sudah mulai uzur tetap menjadi penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi, tanwir, dan muktamar Muhammadiyah, tetap menjadi guru pengajian keluarga Muhammadiyah.

Buya AR Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, tampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Alquran dan hadits.

Buya H Ahmad Rasyid Sutan Mansur meninggal pada Senin, 25 Maret 1985 M bertepatan 3 Rajab 1405 H di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62, Jakarta. Jenazah almarhum dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, setelah disholatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.

Buya Hamka menyebutnya sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. M Yunus Anis dalam salah satu Kongres Muhammadiyah mengatakan bahwa di Muhamamdiyah ada dua bintang. Bintang timur adalah KH Mas Mansur dari Surabaya dan bintang barat adalah Buya AR Sutan Mansur dari Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/05/10/buya-ar-sutan-mansur-bintang-barat-dan-imam-muhammadiyah-sumatera/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement