Jumat 12 Jun 2020 11:23 WIB

Buya AR Sutan Mansur: Imam Muhammadiyah Sumatra

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah.

Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Foto: Muhammadiyah
Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ranah Minang melahirkan seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Buya AR Sutan Mansur. Nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Ia lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada Ahad malam Senin, 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau dan ibunya, Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur.

Keduanya adalah tokoh dan guru agama di Kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau. Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909.

Baca Juga

Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik mempelajari agama. Di samping itu ia sudah dirasuki semangat antipenjajah Belanda.

Sikap antipenjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajah tidak hanya sangat bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi bahkan sering kali berupaya mengadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak zending atau mssi kristen dalam penyebarluasan agamanya.

Maka, tidak mengherankan bila pada 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Hindia Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi, yaitu guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup.

Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan sholat dengan mengadakan pertemuan pada waktu menjelang maghrib. Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr Abu Hanifah), ia belajar kepada Haji Rasul (Dr Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya Hamka), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau.

Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu tauhid, bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Alquran, tafsir, dan hadits dengan mustolahnya. Pada 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah (kakak Buya Hamka), serta diberi gelar Sutan Mansur.

Kemudian, ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh, untuk mengajar. Setelah dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar, Kairo, karena ia tidak diizinkan pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi perantau dari Sumatra dan kaum Muslim lainnya.

Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya ketika ia berinteraksi dengan KH Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922) dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama-sama para pedagang dari Sungai Batang, Maninjau, yang telah masuk Muhammadiyah di Pekalongan.

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement