Kamis 17 Aug 2023 12:15 WIB

Perjuangan Ulama Aceh Rebut Kemerdekaan

Ulama Aceh mengorbankan nyawa mereka demi meraih kemerdekaan.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi makam pahlawan.
Foto:

Pada tahun 1925, di Aceh Selatan muncul perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Cut Ali. Oleh Belanda dianggap sebagai seorang pemimpin yang berinisiatif dan mempunyai otak yang tajam.

Dari laporan Belanda juga disebutkan bahwa pada tahun 1926, Teuku Raja Tampol dan Pang Karim masih merupakan bahaya besar terhadap ketentraman dan ketertiban pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian pada tahun 1928, muncul gerakan Teungku Amin di Tapaktuan. Pemberontakan Bidin Keubay di Lhol Pawoh Utara. Serangan Khadem Ambong di kenegerian Manggeng Aceh Selatan. Selanjutnya pada tahun 1933 muncul perlawanan rakyat di Lhong Aceh Besar. Kasus yang sama juga terjadi di Leupueng pada tahun 1937.

Jadi dapat dikatakan bahwa perlawanan yang dilancarkan oleh para alim ularna dan pejuang Aceh lainnya terhadap Belanda terus berlanjut sampai dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan Aceh khususnya pada tahun 1942. Walaupun perlawanan dilakukan dalam jumlah dan kelompok kecil, namun tetap merepotkan pemerintah kolonial Belanda.

Pada akhir periode zaman pergerakan nasional, aktivitas alim ulama di Aceh masih mewarnai kehidupan politik dan sosial budaya di Aceh. Dalarn masa ini aktivitas para ulama lebih terarah pada bidang pendidikan. Para alim ulama membentuk sebuah organisasi modern dengan nama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini lahir setelah para alim ulama dari seluruh Aceh melakukan musyawarah di Matang Glumpang Dua (Aceh Utara), yang diprakarsai oleh seorang ulama terkemuka Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap pada 5 Mei 1939, atau bertepatan dengan hari perayaan Maulid Nabi 12 Rabbi'ul Awai 1358 Hijriyah. 

 

Dilansir dari buku Tokoh Agama Dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 di Aceh yang ditulis Rusdi Sufi, Muhammad Nasir, Zulfan dan diterbitkan Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement