Senin 22 Nov 2021 23:50 WIB

Mengkaji Sirah Nabawiyah dalam Kehidupan Sosial Keagamaan

Sirah Nabawiyah merupakan rangkaian kisah perjalanan Rasulullah SAW.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Sirah Nabawiyah dalam Kehidupan Sosial Keagamaan. Foto: Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto:

Pendapat serupa juga diungkapkan Presiden Direktur Mizan Group, Haidar Bagir. Dia mengatakan, peran sirah nabawiyah sangat penting sebagai rujukan dalam mencari solusi dari segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Meski begitu, tidak semua bahan sirah dapat diterapkan dalam persoalan yang ada, merujuk pada banyak analisis tentang sirah kenabian.

“Sirah harus ditinjau secara metodologis khususnya untuk literatur awal,” ujarnya merujuk pada haathib lail, sebutan bagi para pengumpul sirah yang kebanyakan hanya mengumpulkan tanpa menyeleksi kebenaran dan validitas sirah.

“Meski sirah-sirah awal ini harus lebih ketat penyeleksiannya karena sangat rentan kekeliruan.

Seiring berjalannya waktu, penulisan sirah mulai berpedoman pada metodologi yang terus diperbaharui untuk menjamin validitas dan kelayakan sirah sebelum dimasukkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” sambung Haidar Bagir dalam Seminar Nasional berjudul Keteladanan Sirah Nabawiyah dalam Konteks Kehidupan Sosial dan Keagamaan yang digelar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Senin (22/11).  

Filantropis lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat ini menyarankan penyeleksian dan penerjemahan sirah nabawiyah secara paradigmatik yang berasas pada Al-Quran. Penerapan sistem paradigmatik ini, kata dia, dapat menjadi solusi dalam memfilter sirah dan hadits-hadits yang ‘tercecer’, sehingga tidak terjadi pertentangan dan problematik.   

“Paradigma Alquran tentang Rasulullah adalah bahwa Rasulullah adalah teladan dalam hal akhlak. Akhlak Rasul digambarkan sebagai sosok yang berhati lembut, penuh kasih dan sayang, Rasul juga disebut tegas kepada orang kafir, dan ini tidak dapat ditafsirkan secara mentah, karena sejatinya kata ‘kafir’ ini tertuju pada orang tiran (jahat) bukan non-Muslim secara umum,” jelasnya.

“Maka ini perlu dikaji secara paradigmatik untuk mengantisipasi ketersesatan dan kesalahan pemahaman,” tambahnya.

Dia menegaskan perlunya mengkaji bahan-bahan tarikh (sejarah) bukan hanya secara metodologis namun juga paradigmatis. “Sehingga jika ada tarikh atau sirah yang menggambarkan Rasulullah sebagai sosok yang keras atau tegas kepada kafir, maka perlu dikaji ulang untuk meninjau keselarasan dengan paradigma Alquran dan bigrafi Rasulullah.” ujarnya menambahkan.  

Selain itu, terdapat banyak bahan-bahan tarikh dan sirah yang tidak sama satu sama lain, sehingga sangat perlu melakukan pengkajian dan penerjemahkan secara ketat demi memastikan validitas dan ketersesuaian hadits dengan perkembangan zaman, kata Haidar. "Penerapan berbagai preskripsi yang berdasarkan pada konteks ruang dan waktu harus dipertimbangan dan diolah menjadi hasil ijtihad baru yang sesuai dengan perubahan zaman dan waktu," ujarnya. 

Dia juga menyarankan agar pengolahan bahan historis dalam Islam bukan hanya diolah dan dikaji oleh ulama saja tapi juga melibatkan pakar dan ilmuan yang mengusai keahlian dalam bidang ilmu yang terkait dengan ijtihad yang sedang dilakukan. “Misalnya ketika sedang mengkaji mengenai kesehatan, maka diperlukan peran para ahli dan pakar di bidang kesehatan. Sehingga hasilnya bukan hanya otentik sesuai dengan syariat Islam tapi juga sejalan dengan perkembangan ilmu dan zaman,” pungkasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement