Kamis 08 Jul 2021 23:21 WIB

Pinjaman Online Menurut Syariat dan 3 Syarat Utama

Pinjaman online pada dasarnya hukumnya boleh selama tidak merugikan

Pinjaman online pada dasarnya hukumnya boleh selama tidak merugikan. Ilustrasi pinjaman online
Foto:

Oleh : KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengurus Lembaga Dakwah PBNU, dan Duta Pancasila BPIP RI

Pertama, tidak menggunakan praktik ribawi (riba: rentenir). Riba dalam berpiutah adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam.

Larangan (keharaman) praktik riba disebut secara eksplisit (sharih) dalam Alquran: 

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al Baqarah 275). 

Larangan dan kecaman praktik riba disebut dalam banyak hadis Rasulullah, antara lain: 

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim) 

Secara lebih rinci agar kita tidak terjebak praktik riba, Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar Al Masyhur menjelaskan dalam kitabnya: 

إِذِ الْقَرْضُ الْفَاسِدُ الْمُحَرَّمُ هُوَ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيْهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ هَذَا إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ فَإِتْ تَوَاطَآ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيْ صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدٌ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا الْوَاقِعَةِ لِغَيْرِ غَرَضٍ شَرْعِيٍّ

“Praktik hutang yang rusak dan haram adalah menghutangi dengan adanya syarat memberi manfaat kepada orang yang menghutangi. Hal ini jika syarat tersebut disebutkan dalam akad. 

Adapun ketika syarat tersebut terjadi ketika sebelum akad dan tidak disebutkan di dalam akad, atau tidak adanya akad, maka hukumnya boleh dengan hukum makruh. 

Seperti halnya berbagai cara untuk merekayasa riba pada selain tujuan yang dibenarkan syariat.” (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 135)

Kedua, jangan menunda membayar hutang. Hukum menunda untuk membayar hutang jika sudah mampu hukum haram. Rasulullah SAW bersabda: 

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ  "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya." (HR Nasai) Dalam hadits riwayat Imam Bukhari disebutkan,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ… “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan orang mampu adalah suatu kezaliman….” (HR Bukhari). 

لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز “Makna hadits di atas ("menunda bayar hutang zalim") bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar).” (Syekh Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih Al Bukhari, juz 18, hal  325).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement