Ahad 03 Jan 2021 01:13 WIB

Akhir Perjuangan Pejuang Muslim Aljazair yang Legendaris

Pejuang Muslim legendaris Abdul Qadir Al-Hasani dikenal gigih usir Prancis

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
    Hingga 1847, hubungan antara Abdul Qadir dan penguasa Maroko itu kian memburuk. Bahkan, Prancis kemudian menyaksikan perang saudara antarkedua kubu yang sama-sama Muslimin itu.   Pertempuran berpusat di Rif, Maroko Utara. Bagi Abdurrahman, keberadaan pendukung Abdul Qadir di sana seolah-olah menjadikan adanya negara dalam negara. Karena semakin terdesak, Abdul Qadir pun menyingkir dari daerah tersebut dengan menyeberangi Sungai Muluwiyya.   Namun, di ujung sungai itu ternyata pasukan Pran cis telah menunggunya. Komandan Aljazair itu menyadari kondisinya kini sudah terkepung total.  Dirinya menolak opsi perang mati-matian yang ditawarkan beberapa penasihatnya. Maka pada 20 De sember 1847, atas inisiatif sendiri Abdul Qadir bersurat kepada Jenderal Louis Juchault de Lamoricière.     Dia menyatakan siap menyerah dengan syarat jaminan keamanan untuk anak-anak, perempuan, kalangan budak, serta harta benda milik kaumnya. Dalam suratnya itu, dia juga menegaskan hanya mau diasingkan ke Iskandariah (Mesir) atau Acre (Palestina), bukan tempat lain. De Lamoricière berjanji me menuhi semua permintaan itu.    Kota Bejaia, Aljazair
Foto:

Namun, hingga dua tahun berikutnya letupan-letupan konflik terus terj adi antara Prancis dan Aljazair. Perjanjian Tafna lantas ditanda tangani, tetapi klausul-klausulnya cenderung begitu ketat dalam mengatur arus masuk-keluar antarwilayah kedua belah pihak. Saat itu, Prancis sebenarnya cukup terdesak. Sebab, nyaris dua pertiga wilayah bekas provinsi Turki Utsmaniyah itu sudah dikuasai Abdul Qadir. 

Sementara, arus emigrasi dari Prancis ke Aljazair terus melonjak. Hingga akhir 1830-an, Aljir dihuni sekitar 14 ribu orang Eropa, 12 ribu Muslim, dan 6.000 orang Yahudi. Artinya, perluasan wilayah menjadi pilihan utama bagi si penjajah. 

Apalagi, ambisi Prancis untuk menjadikan negeri tersebut sebagai koloni produktifnya masih saja membara. Maka dari itu, pada Oktober 1839 Paris memerintahkan gubernur jenderal Valee untuk memulai ekspansi militer demi merebut seluruh Aljazair. 

Abdul Qadir tidak langsung menyerukan perang total, tetapi terlebih dahulu menulis surat kepada raja Prancis. Dalam korespondensinya, pemimpin Muslim tersebut mempertanyakan komitmen Prancis terhadap perdamaian, seperti terpatri dalam Perjanjian Tafna. Dia juga menegaskan, tidak akan ragu menumpas setiap pasukan penjajah.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement