Namun, hingga dua tahun berikutnya letupan-letupan konflik terus terj adi antara Prancis dan Aljazair. Perjanjian Tafna lantas ditanda tangani, tetapi klausul-klausulnya cenderung begitu ketat dalam mengatur arus masuk-keluar antarwilayah kedua belah pihak. Saat itu, Prancis sebenarnya cukup terdesak. Sebab, nyaris dua pertiga wilayah bekas provinsi Turki Utsmaniyah itu sudah dikuasai Abdul Qadir.
Sementara, arus emigrasi dari Prancis ke Aljazair terus melonjak. Hingga akhir 1830-an, Aljir dihuni sekitar 14 ribu orang Eropa, 12 ribu Muslim, dan 6.000 orang Yahudi. Artinya, perluasan wilayah menjadi pilihan utama bagi si penjajah.
Apalagi, ambisi Prancis untuk menjadikan negeri tersebut sebagai koloni produktifnya masih saja membara. Maka dari itu, pada Oktober 1839 Paris memerintahkan gubernur jenderal Valee untuk memulai ekspansi militer demi merebut seluruh Aljazair.
Abdul Qadir tidak langsung menyerukan perang total, tetapi terlebih dahulu menulis surat kepada raja Prancis. Dalam korespondensinya, pemimpin Muslim tersebut mempertanyakan komitmen Prancis terhadap perdamaian, seperti terpatri dalam Perjanjian Tafna. Dia juga menegaskan, tidak akan ragu menumpas setiap pasukan penjajah.