Rabu 14 Oct 2020 21:52 WIB

Kenabian Isa AS dalam Pandangan Ulama Islam Abad ke-4 H

Al-Syahrastani ulama abad ke-4 Hijriyah berbicara soal kenabian Isa AS.

Rep: Yusuf A/ Red: Nashih Nashrullah
Al-Syahrastani ulama abad ke-4 Hijriyah berbicara soal kenabian Isa AS. Islam-Yahudi/ilustrasi
Foto:

Tak heran bila ia berhasil membangun diskursus perbandingan agama secara objektif dan tetap bersandar pada kaidah Islam. Pada bagian lain dalam bukunya yang membahas kaum Nasrani, ia memilahnya ke dalam dua bagian. Pertama, terkait Isa al-Masih. Dan, yang kedua tentang Paulus.

Al-Syahrastani menuturkan, terdapat silang pendapat di antara murid-murid Isa terhadap penyatuan unsur Tuhan dan manusia yang me lingkupi pribadi al-Masih. Sebagian murid percaya ruh Tuhan bisa menjelma dalam bentuk sosok manusia.

Namun, sebagian lagi menganggap sulit mencampurkan kedua unsur itu. Mengenai hal itu, al-Syahrastani mengemukakan bahwa al-Masih adalah utusan Allah SWT. Selama menyampaikan wahyu Ilahi, ia dikarunia mukjizat, seperti halnya nabi-nabi terdahulu.  

Ia menyinggung tentang kenaikan al-Masih ke langit setelah terjadinya penyaliban. Namun, berdasarkan ayat Alquran, yang terbunuh di tiang salib adalah sosok manusia dan bukan unsur ketuhanan. Ia mempunyai catatan Paulus yang ia anggap telah mengubah ajaran murni al-Masih. Yaitu, dengan mencampur adukkan ucapan al-Masih dengan pendapat para filsuf.  

Paulus pula yang meletakkan doktrin Nasrani yang diturunkan kepada empat muridnya, antara lain Lukas, Matius, Yohanes, dan Markus. Al- Syahrastani pun menuliskan pandangannya menyangkut kaum Yahudi. Ajaran Yahudi bersumber dari Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali peristiwa penyimpangan dari kaum Yahudi terhadap wahyu Allah. Secara menyeluruh, al-Syahrastani mengkaji aspek teologis Yahudi. Dalam kepercayaan mereka, ajaran yang dibawa Musa telah mencapai kesempurnaan dan tidak mungkin diubah. 

Namun, dia menilai, kaum Yahudi, juga Nasrani, tidak pernah mengakui kerasulan Muhammad, padahal kedatangan Rasul terakhir itu sudah tertera dalam Taurat maupun Injil. Para sejarawan mengagumi wawasan tentang agamaagama dari al-Syahrastani yang demikian luas.

 

Ia juga sanggup menuangkan pemikirannya mengenai argumen maupun teks teologis yang sangat rumit dan kompleks dalam bahasa yang mudah dicerna. Al-Syahrastani menegaskan, dirinya tetap berada dalam kapasitas yang bisa diterima segenap kalangan. Apa yang tertera dalam karyanya dikatakan jauh dari rasa kebencian atau fanatisme.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement