REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musafir kenamaan Ibnu Batutah melintasi delta Sungai Nil pada tahun 1326. Saat itu malam begitu panas. Di penginapannya, Batutah naik ke atap dengan letih.
Kemudian dia dikejutkan oleh sesuatu yang tak biasa ada dalam perjalanannya. Ia menemukan kasur jerami, tikar kulit, tempat wudhu, kendi berisi air, dan gelas minum, yang tersedia di atap tersebut. Untuk abad ke-14, fasilitas seperti ini sudah sekelas bintang empat.
Tanpa tempat beristirahat yang aman dan nyaman seperti itu, perjalanan Ibnu Batutah yang terkenal selama 28 tahun melintasi Afrika dan Asia mungkin tidak akan pernah terjadi. Berabad-abad lamanya sebelum itu, perjalanan jarak jauh selalu menjadi masalah, karena penuh risiko.
Namun lambat-laun pergeseran mulai terjadi. Ada perubahan pada sistem penginapan bagi para pelancong, dari Spanyol ke China. Hal ini membuka jalan bagi para pedagang, peziarah, dan lainnya yang tak terhitung banyaknya. Seperti halnya Ibnu Batutah, yang melancong karena didorong oleh keingintahuan belaka.
Saat ini, reruntuhan kompleks Karavanserai (penginapan yang di tepi jalur perdagangan) di pinggir jalan yang kokoh dan berdinding masih menghiasi lanskap, dari padang pasir Afrika Utara hingga dataran tinggi Iran. Bahkan sejauh timur hingga dataran rendah lembab Bangladesh.
Kompleks penginapan lainnya, yang dikenal sebagai Khan dan Funduq (penginapan yang berukuran kecil dalam kota), masih dapat ditemukan di kawasan-kawasan tua kota-kota di Timur Tengah dan Asia Tengah. Sebagian besar sekarang bobrok dan digunakan sebagai perumahan murah, tempat parkir atau penyimpanan komersial.
Untuk bangunan-bangunan ini, perlindungan resmi dari pembusukan atau pembongkaran jarang dilakukan. Meski demikian, beberapa telah dipulihkan. Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak yang tersisa.
"Mereka tidak memiliki signifikansi keagamaan masjid, atau kepentingan politik sebuah istana, sehingga mereka tidak pantas mendapatkan pelestarian dengan cara yang sama," kata Olivia Constable dari Universitas Notre Dame, salah satu dari sedikit sarjana yang mempelajari ekonomi historis dan arsitektur karavanserai dan khan.
Desain Karavanserai dan Khan menggunakan unsur masjid dan villa, benteng dan istana, untuk menciptakan tema desain yang pragmatis dan hampir universal. Bangunan-bangunan itu lebih dari sekadar hotel pinggir jalan.
Seperti namanya, Karavanserai mengakomodasi seluruh karavan (rombongan orang yang melakukan perjalanan) yang datang. Sementara Khan dibangun di kota-kota di samping pasar. Sedangkan Funduq cenderung lebih seperti rumah kos, dan sering dibangun dekat pasar.
Ketiganya, pada tingkat yang berbeda-beda di seluruh benua dan abad, merupakan pusat kehidupan di mana orang-orang, agama, dan etnis berbaur. Secara khusus, karavanserai mungkin lebih mirip bandara hari ini. Menyerupai kota-kota kecil di dalamnya, dengan tempat untuk tidur, makan, berbelanja, berdoa, bergaul, menunggu tahap perjalanan selanjutnya.
Di situ pula memang bisa mendapat untung tak terduga dari muatan barang-barang yang eksotis, menyusul desas-desus perdagangan bandit atau pemungut pajak, atau sekadar menikmati teh dengan rekan senegaranya di tanah yang jauh.
Pada abad ke-19, kapal uap dan kereta api mulai membuat karavanserai dan khan ditinggalkan. Tetapi selama lebih dari satu milenium, Karavanserai, Khan dan Funduq sangat penting bagi semangat, kemakmuran, dan karakter kosmopolitan pada dunia abad pertengahan. Ketiganya adalah tulang punggung yang memberi kekuatan pada Jalur Sutra.