Selasa 28 Apr 2020 23:55 WIB

Islamisasi Nusantara Melalui Jalur Sutra yang Legendaris

Jalur Sutra tak hanya digunakan untuk perdagangan tetapi juga islamisasi.

Jalur Sutra tak hanya digunakan untuk perdagangan tetapi juga islamisasi. Jalur Sutra/Ilustrasi
Foto: Wikipedia
Jalur Sutra tak hanya digunakan untuk perdagangan tetapi juga islamisasi. Jalur Sutra/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Tak sulit melacak persentuhan dunia Islam dengan jalur sutra yang merupakan akses utama menuju negara-negara Asia dan sekitarnya ketika itu. Banyak catatan perjalanan yang ditulis, baik oleh para cendekiawan maupun petualang-petualang Muslim.

Ibnu Jabir, misalnya, ia keluar dari Spanyol pada 1183 menuju Makkah untuk pergi berhaji. Perjalanan itu ia lakukan dengan niat terhapuskan dari dosa akibat seteguk alkohol yang ia minum. Ia melintasi berbagai wilayah berikut aneka budaya dan etnis.

Baca Juga

Catatan perjalanannya itu ia tuangkan ke dalam sebuah karya yang diberi tajuk, Tadzkirat al-Akhbar 'an Ittifaq al-Asfar. Kitab yang naskah manuskripnya masih tersimpan baik di Perpustakan Leiden, Belanda, dengan tulisan tangan tertanda di Makkah sekitar 1470 M ini, menjadi rujukan penting bagi para cendekiawan Muslim, seperti al-Muqrizi dan Ibnu Bathuthah. Bahkan, dianggap sebagai referensi utama dalam kajian di Barat dan dialihbahasakan ke berbagai bahasa.

Meski bila ditelusuri, pada periode awal Islam, ekspedisi yang melewati jalur sutra tersebut telah dilakukan ke kawasan timur jauh, atau yang kerap mereka sebut dengan syarq al-Aqsha. Destinasi utama mereka ketika itu adalah Cina.

Bahkan tak hanya Cina, perjalanan itu mencakup pula Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Malaka-lah yang menjadi gerbang utama masuknya Islam ke Asia Tenggara. Dari semenanjung Malaka, Islam bersentuhan dengan bangsa Melayu yang kemudian tersebar ke seluruh kawasan regional.

Pada masa puncak perdagangan di era Dinasti Tang dan Song pada abad ke-7 hingga abad ke-13, cukup banyak bermunculan komunitas dan permukiman Arab di beberapa daerah perdagangan Cina. Di antaranya, yakni di Chang-An (Xi-An), Yangzhou, Ningpo, dan kota-kota pelabuhan Guangzhou dan Quanzhou di Cina dan Champa di semenanjung Indocina.

Ekspedisi besar-besaran ke berbagai penjuru dunia memang masif dilakukan sejak abad ke-2 Hijriyah pada masa para khalifah pengganti Rasulullah SAW. Syekh ar-Ribwah dalam kitab Nukhbat ad-Dahr mengatakan, kuat dugaan, sebanyak 32 utusan yang dikirim oleh Ustman bin Affan untuk ekspedisi ke Cina pada abad ke-3 Hijriyah, pernah singgah dan mengenalkan Islam ke Indonesia. Wilayah nusantara merupakan jalur transportasi utama yang paling mudah menuju Cina.

Inilah mengapa, Sayyid Alawi bin Thahir al-haddad dalam bukunya, Tarikh Intisyar al-Islam fi as-Syarq al-Aqsha, menyebutkan keberadaan saudagar Muslim Sulaiman a-Sairafi, yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada abad kedua Hijriyah. Rempah-rempah menjadi komoditas yang paling dicari oleh para pedagang Arab Muslim pada masa itu. 

Hanya saja, bedanya pada awal misi ekspedisi tersebut, belum muncul kesadaran untuk mendokumentasikan kisah perjalanan mereka. Bisa jadi ada, tetapi tak sampai pada tangan kita sekarang. Entah akibat dimakan usia, ikut terbakar saat keruntuhan Baghdad, atau memang benar-benar tak ada dokumentasi sama sekali.

Berbeda dengan gairah penjelajahan pada abad-abad berikutnya. Mereka bahkan menerima permintaan langsung dari berbagai pihak untuk membukukan laporan petualangan mereka, seperti pengalaman al-Idrisi.

Karyanya yang berjudul "Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq" sengaja ditulis merupakan permintaan langsung dari penguasa Spanyol saat itu, yakni Roger II. Meski non-Muslim, pemimpin tersebut cinta terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Begitu juga dengan latar belakang penulisan "Tuhfah an-Nazhar fi Gharaib al-Amshar wa 'Ajaib al-Asfar". Penulisnya yang tak lain adalah Ibnu Bathuthah, semula tak berniat membukukan kisah perjalanannya selama berpetualang.

Namun, setelah mendapat saran dan dorongan dari sejumlah kalangan, terutama Sultan Maroko, Abu Affan Faris al-Mutawwakil, generasi ke-11 Kesultanan Bani Marinid (Maryan), akhirnya pada 1354 M, dia berkenan berbagi cerita melalui dokumentasi sebuah buku dan berhasil diselesaikan pada 1355 M.

Kitab ini pun menjadi referensi penting dalam rekonstruksi Islamisasi nusantara. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Bathuthah mengisahkan pengalamannya selama berada di Sumatra yang saat itu dikuasai oleh Kerajaan Samudera Pasai.

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement