Mereka menambahkan perpustakaan yang berisi ribuan buku dan manuskrip tentang berbagai mata pelajaran seperti agama, sejarah, kedokteran, astronomi, dan puisi. Pada 1516, Gaza menjadi bagian dari Kekaisaran Utsmaniyah yang memerintah selama empat abad. Selama periode ini, masjid diperluas dan direnovasi beberapa kali oleh gubernur dan sultan yang berbeda.
Mereka menambahkan fitur baru seperti iwan (ruang berkubah), menara, kubah, air mancur, dan halaman. Mereka juga menghiasinya dengan ubin, prasasti, dan lukisan.
Pada 1917, selama Perang Dunia I, pasukan Inggris membombardir Gaza dan merusak sebagian masjid. Pada 1925, di bawah pemerintahan Mandat Inggris, Dewan Muslim Tertinggi memulihkannya dengan bantuan sumbangan dari masyarakat setempat.
Pada 1948, setelah berdirinya Israel, Gaza berada di bawah pemerintahan Mesir, yang juga berkontribusi dalam pemeliharaan masjid. Pada 1967, setelah Perang Enam Hari, Gaza diduduki oleh Israel yang memberlakukan pembatasan akses dan penggunaan masjid.
Pada 1994, setelah Kesepakatan Oslo, Gaza dipindahkan ke pemerintah Palestina, yang mengambil alih tanggung jawab memelihara dan mengelola masjid. Pada 2007, setelah Hamas menguasai Gaza, masjid tersebut terkena blokade dan pengepungan Israel, yang membatasi pasokan dan layanannya.
Terlepas dari tantangan dan kesulitan yang dihadapi Gaza, Masjid Al Umat tetap menjadi mercusuar harapan dan keyakinan bagi rakyatnya. Itu terus berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan dan sosialisasi bagi umat Islam.
Masjid itu juga menyambut pengunjung dari agama dan latar belakang lain yang ingin belajar tentang sejarah dan budayanya. Diharapkan suatu hari, masjid ini akan menjadi saksi berakhirnya konflik dan fajar perdamaian di Gaza dan sekitarnya.