REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Haid menjadi patokan penting dilaksanakannya sejumlah ibadah seperti kewajiban sholat bagi setiap Muslimah. Maka itu penting untuk memperhatikan batas usia haid maupun menopause yang disesuaikan dengan syariat agama.
Dalam buku Sumber Rujukan Permasalahan Wanita yang diterbitkan Lajnah Bahsul Masail Madrasah Hidayatul Mubtadien Ponpes Lirboyo Kediri dijelaskan, awal usia seorang perempuan yang mengeluarkan darah haid adalah jika dia sudah mencapai usia 9 tahun masehi kurang 16 hari kurang sedikit.
Yakni kurang dari waktu yang cukup dihukumi minimal suci (15 hari) dan minimal haid (satu hari satu malam) sehingga jika dia mengeluarkan darah kurang dari usia tersebut, maka darah yang keluar tidak bisa disebut haid. Akan tetapi darah tersebut dinamakan istihadhah.
Namun pada umumnya perempuan pertama kali keluar darah adalah di saat dia berusia 12-14 tahun.
Bila darah yang keluar sebagian pada usia haid, maka darah yang dihukumi haid hanyalah darah yang keluar pada usia haid saja.
Semisal ada perempuan, usianya sembilan tahun kurang 20 hari mengeluarkan darah selama 10 hari, maka darah yang 4 hari awal lebih sedikt disebut darah istihadhah. Sedangkan yang enam hari akhir kurang sedikit disebut haidh. Sebab darah yang enam hari kurang sedikit ini keluar saat wanita tersebut sudah menginjak usia sembilan tahun kurang 16 hari kurang sedikit, yakni usia minimal wanita mengeluarkan haid.
Sedangkan batasan usia perempuan menopause (yang sudah tidak mengalami haid) umumnya terjadi di usia 62 tahun. Namun para ulama menjelaskan bahwa usia berapapun bila perempuan mengeluarkan darah dan telah memenuhi ciri-ciri haid, maka darah yang keluar tetap dihukumi haid. Dan wanita lanjut usia pun masih dimungkinkan mengalami haid.
Larangan selama haid
Mayoritas ulama berpendapat, wanita yang haid dilarang mengerjakan ibadah-ibadah seperti halnya orang yang sedang junub. Termasuk juga menyentuh Alquran dan berdiam diri di dalam masjid. Sedangkan jika membaca Alquran, tanpa menyentuhnya, sebagian ulama membolehkannya. Tetapi ada pula yang melarangnya.
Imam Nawawi termasuk ulama yang melarang wanita yang sedang haid membaca Alquran. Sedangkan Imam Bukhari, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu Munzir berada di pihak yang membolehkannya.
Al-Bukhari menyebutkan sebuah komentar dari Ibrahim an-Nakha'i, tidak ada salahnya seorang perempuan yang haid membaca ayat Alquran.
Bahkan Ibnu Taimiyah, seperti dikutip oleh Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam Fiqh Mar'ah al-Muslimah, menyatakan tidak ada satupun sunnah yang melarang perempuan haid membaca Alquran. Para perempuan Muslimah di zaman Rasulullah mengalami haid. Maka, jika saja membaca Alquran dilarang sebagaimana sholat, tentu sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Lebih lanjut Ibnu Taimiyah berpendapat, manakala tidak ada satu riwayatpun dari Rasulullah yang melarang perkara ini, maka tidak boleh dihukumi haram. Karena, Rasulullah sendiri tidak mengharamkannya.