REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pangeran Diponegoro tidak hanya dikenal sebagai sosok panglima perang dan ahli strategi yang ulung, tetapi juga adalah sosok alim pecinta ilmu.
Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam menambahkan, Pangeran Diponegoro mulai menggemari pustaka sejak di Tegalreja. Kitab-kitab Jawa kuno semacam Mahabharata dan Ramayana telah dibacanya.
Pangeran Diponegoro juga menelusuri teks-teks islami, seperti Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari, seorang sufi Aceh dari abad ke-17. Kitab itu mempersoalkan tentang sistem kekuasaan yang ideal menurut Islam.
Guru besar Universitas Paramadina itu menjelaskan, Tajus Salatin menjadi rujukan sang pangeran, bahkan selalu dibawanya selama perang berlangsung.
Selain itu, dia juga mempelajari antara lain at-Tuhfah karangan Ibn Hajar, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan epos- epos kepahlawanan Islam. Di samping itu, tentunya dia mendaras kitab suci Alquran beserta tafsirnya.
Ratu Ageng meninggal dunia pada 1803.Jasadnya dikebumikan di kompleks permakaman keraton, Imogiri. Betapa sedihnya Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 18 tahun.
Peter Carey yang merupakan peneliti Pangeran Diponegoro menjelaskan, dua tahun kemudian sang pangeran memutuskan untuk berkelana, keluar dari lingkungan istana. Dia hendak menjalani pengembaraan spiritual agar lepas dari kungkungan duniawi.
Pangeran Diponegoro mulai mengunjungi masjid-masjid dan pesantren-pesantren di kawasan Yogyakarta demi mendalami ilmu-ilmu agama. Atas saran Syekh al-Ansari, Pangeran Diponegoro memakai nama baru, yakni Syekh Ngabdurrahim.
Pangeran Diponegoro juga mencukur rambutnya agar tidak tampil mencolok di tengah para santri desa. Hal ini dipahami sebagai upaya sang pangeran agar dapat diterima dan akrab dengan mereka. Sebab, menurut norma keraton Jawa saat itu, pria ningrat dikenali dari rambutnya yang panjang.
Tidak hanya itu, dia juga menanggalkan pakaian kebangsawanannya. Pangeran Diponegoro lebih sering tampil dengan busana khas kaum santri abad ke-19, yakni baju putih, serban penutup kepala, dan sarung. Beberapa daerah pusat santri yang dikunjunginya terletak di selatan Keraton Yogya. Di antaranya adalah Gading, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Kasongan, dan Dongkelan.
Tahap selanjutnya, Diponegoro melakukan khalwat. Aktivitas ini bertujuan agar dirinya sepi dari pamrih duniawi. Babad Diponegoro menyebutkan, dalam masa ini, sang pangeran dikatakan berjumpa dengan penampakan Sunan Kalijaga di Gua Song Kamal, Jejeran, Yogya selatan.
Bayangan itu mengatakan kepadanya soal masa depan keraton. Babad tersebut juga menceritakan destinasi selanjutnya Pangeran Diponegoro, yakni Imogiri. Suatu ketika, sang pangeran hendak shalat Jumat di Masjid Jumatan. Di sinilah biasanya para juru kunci berkumpul dan beribadah. Begitu melihat Pangeran Diponegoro, yang berbusana layaknya santri sederhana, semua juru kunci memberikan penghormatan.
Menurut Peter Carey, hal ini menandakan betapa para alim ulama keraton mengakui kesalehan Pangeran Diponegoro. Belakangan, mereka juga mendukungnya ketika peperangan terjadi melawan Belanda.