REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pengetahuan dalam diri manusia merupakan hasil dari observasi yang menandakan keberadaannya. Pengetahuan adalah anugerah yang tidak datang dengan sendirinya. Di dalamnya, terdapat hidayah Ilahi, yang membuat seseorang mengetahui banyak hal tentang alam dan kehidupan sekitar.
Dalam Risalat al-Ittishal, Ibnu Bajjah mengungkapkan, antara lain, kategori tindakan, yakni manusiawi dan hewani. Pemenuhan kebutuhan nutrisi tentunya berlaku bagi masing-masing makhluk. Namun, berbeda dengan binatang, manusia makan bukan hanya untuk menjaga kekuat an atau nyawa, tetapi juga mencapai kebaha giaan spiritual.
Dalam kitab yang sama, dia juga membahas perihal kehendak sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Hal itu dihubungkannya dengan dua jenis nilai, yakni formal dan spekulatif. Ambil contoh, kejujuran. Dalam jagat hewan, kejujuran hanya bernilai formal.
Sebab, tidak mungkin seekor hewan berbohong. Sementara itu, kejujuran dalam dunia manusia bernilai spekulatif karena adanya kehendak. Dengan demikian, sebuah tindakan manusia dapat dinilai jujur, dapat pula sebaliknya tergantung pada kehendak apa di baliknya.
Seperti al-Farabi, Ibnu Bajjah juga mengulas perihal akal aktif, yakni maujud spiritual yang ber posisi antara Tuhan dan alam materiel. Penyatuan atau keterhubungan dengan akal aktif itulah yang menjadi prasyarat utama agar kebahagiaan bisa dirasakan manusia.
Menurut dia, pertalian itu dapat dilakukan dengan menjalani hidup dalam kesendirian sebaik mungkin. Orang yang melakukannya disebut al-insan al-mun farid, manusia penyendiri, yang diandaikannya berasal dari kalangan filsufatau juga cendekia wan.
Dalam Al-Wada' dan Tadbir al-Mutawahhid, ia mengatakan, filsuf yang al-insan al-munfarid dapat hidup dalam suatu negeri tidak sempurnasebuah keadaan yang juga dirumuskan oleh Ibnu Bajjah.
Dalam konteks demikian, filsuf tersebut cukup berinteraksi dengan kaum ilmuwan, sembari mengasingkan diri dari sikap atau perbuatan yang tidak baik bagi publik, seumpama korupsinya kaum politikus atau elite.
Jika si filsuf tidak dapat menemukan sesama ilmuwan atau ulama yang menjauhi sikap-sikap korup, maka sebaiknya ia mengasingkan diri secara total. Dirinya tidak berinteraksi sama sekali dengan lingkungan kecuali sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, atau kedaruratan.
Melalui karyanya itu, Ibnu Bajjah juga menguraikan sebuah utopia, yakni apa yang diyakininya sebagai negara sempurna. Menurut dia, negara yang sempurna adalah yang di dalamnya masyarakat tidak lagi membutuhkan dokter dan hakim. Adanya kedua profesi itu menandakan bahwa (masyarakat) negara tersebut masih terjangkit penyakit, baik fisik maupun sosial.
Kalau adanya dokter dan hakim ternyata tidak mampu menuntaskan atau mengurangi penyakit-penyakit itu, negara tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Lebih parah lagi bila pihak-pihak yang seharusnya menyelesaikan masalah justru menjadi bagian dari masalah.