Rabu 20 Jul 2022 20:47 WIB

Islam Begitu Mudah Diterima Rakyat Bosnia yang Mayoritas Kristen, Ini Alasannya

Rakyat Bosnia menerima Islam dengan cara terbuka dan tanpa paksaan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Muslim Bosnia. Rakyat Bosnia menerima Islam dengan cara terbuka dan tanpa paksaan
Ilustrasi Muslim Bosnia. Rakyat Bosnia menerima Islam dengan cara terbuka dan tanpa paksaan

REPUBLIKA.CO.ID, —Sebelum kedatangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. Bosnia-Herzegovina memiliki populasi Muslim yang cukup signifikan di Semenanjung Bal kan atau Benua Eropa pada umumnya sampai saat ini.

Riset Houssain Kettani yang terbit pada International Journal of En vironmental Science and Development (2010) menunjukkan, pada 2010 sebesar 43,8 persen dari total penduduk negara tersebut (3.781.274 jiwa) adalah umat Islam. Lebih lanjut, jumlah itu diprediksi stabil hingga 2020 mendatang. 

Baca Juga

Bosnia-Herzegovina memiliki sejarah yang panjang dengan Islam. Sebelum ke datangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. 

Menurut Schuman dalam "Nations in Transition: Bosnia and Herze govina" (2004), sejak 1180, wilayah tersebut dipimpin Raja (Ban) Kulin yang menolak kekuasaan Romawi Barat (Katolik) dan Romawi Timur (Kristen Ortodoks). Ban Kulin lebih mendukung Bogomi lisme hingga akhir kekuasaannya pada 1204. 

Baik Katolik maupun Kristen Ortodoks memandang sekte tersebut sebagai aliran sesat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Paus Gregory IX berulang kali mengimbau penyerbuan atas Bosnia pada Perang Salib periode 1235-1241. 

Barulah pada 1322, Bosnia di bawah pimpinan Ban Ko tro manic menjalin aliansi dengan penguasa Katolik yang terdekat, Hungaria. 

Namun, aliansi ini tidak mampu berbuat banyak terhadap perluasan wilayah Dinasti Turki Utsmaniyah. Pada 28 Juni 1389, pasukan Muslim berhasil menaklukkan Raja Serbia yang beragama Kristen Ortodoks, Lazar, di Kosovo. Bosnia pun kian lemah dari sisi internal dengan munculnya Stephen Vukcik yang mendeklarasikan pemisahan Herzegovina pada 1448.

Tiga tahun kemudian, Vrhbosna (kini Sarajevo) dapat dikuasai Turki Utsmaniyah. Barulah pada 1465 dan 1481, Turki Utsmaniyah berhasil menaklukkan berturut-turut Bosnia dan Herzegovina.

Schuman menjelaskan, para sultan Utsmaniyah melindungi hak-hak orang non- Muslim di wilayah taklukan untuk hidup secara wajar dan beribadah. Bagaimanapun, gelombang perpindahan agama tetap terjadi.

Para sejarawan menduga pelbagai motif penduduk setempat untuk menjadi Muslim. Di antaranya adalah mereka, terutama kaum Bogomilisme, ingin mempertahankan hak-hak istimewa. Menjadi seagama dengan penguasa setempat dipandang akan lebih menguntungkan.

Selain itu, renggangnya hubungan Bosnia dengan ajaran Katolik dan Kristen Ortodoks agaknya menjelaskan alasan mereka untuk lebih menerima Islam. Beberapa sejarawan menyoroti pemberlakuan sistem devsirme yang mewajibkan setiap laki-laki dewasa untuk mengabdi pada pemerintahan Utsmaniyah. Aturan ini berlaku, baik di lingkup sipil maupun militer.

Akan tetapi, para sultan Utsmaniyah lebih mementingkan aspek meritokrasi dari pada identitas agama. Sebagai contoh, seorang Kristen Ortodoks bernama Soko lovic terpilih untuk dikirim ke ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, Istanbul, demi melanjutkan pendidikan.

Dia kemudian menjadi seorang Muslim dan pada akhirnya meraih posisi wazir utama. Schuman menyebut, agama Kristen masih dipeluk ka lang an petani, sedangkan kelas menengah dan kelas atas Bosnia-Herzegovina condong pada Islam. 

Dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah, Kota Vrhbosna menjadi pusat kegiatan politik, pendidikan, dan budaya masyarakat.

Puluhan masjid dan ratusan sekolah untuk umum dibangun. Menjelang pertengahan 1500-an, Vrhbosna telah memiliki tata kota yang cukup modern, lengkap dengan sistem irigasi, fasilitas kesehatan publik, dan destinasi wisata. 

Pada masa inilah kota tersebut berubah namanya menjadi Sarajevo, yang diambil dari bahasa Turki saraj ('istana') dan ovas ('tanah terbuka'). Memasuki era 1700-an, kendali Istanbul atas Bosnia-Herzegovina mulai menyusut.

Hal ini seiring dengan menurunnya simpati warga, termasuk kaum Muslim Bosnia, yang memandang rezim Utsmaniyah mengabaikan kepentingan setempat.  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement