Jumat 11 Mar 2022 19:13 WIB

 Dalam Kondisi Seperti Apa Muslim Boleh Berperang?

Islam sejatinya agama yang menghendaki terciptanya kedamaian di muka bumi.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Perang dalam Islam (ilustrasi)Islam sejatinya agama yang menghendaki terciptanya kedamaian di muka bumi.
Foto:

Pendakwah yang juta ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) DKI Jakarta, KH. Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan para ulama seperti seperti Syeikh Al Islam Zakariyya Al Anshori di dalam kitab Fathul Wahhab, menyatakan bahwa apabila tentara kafir masuk ke negeri kaum Muslimin maka hukumnya fardhu a`in berperang bagi penduduknya. Terlebih mengetahui bila ditawan oleh pasukan kafir akan dibunuh, atau kaum perempuannya akan dilecehkan. 

Imam Muhyiddin An Nawawi di dalam kitabnya, Raudhah At Thalibin menyatakan bahwa jihad yang hukumnya fardhu `ain (yang menjadi kewajiban setiap orang) adalah ketika orang-orang kafir menduduki daerah kaum Muslimin, atau mendekatinya, berada di gerbangnya dengan bertujuan memasukinya, dan belum  memasukinya.

Maka dari itu, menurut Kiai Rakhmad Zailani Kiki wajib hukumnya Muslim berperang ketika pasukan kafir telah memasuki wilayah pasukan Muslim. 

"Berperang merupakan kewajiban setiap individu (wajib `ain) sebagai upaya meniaga jiwa (hifdzunnafs). Perang dibolehkan bahkan diwajibkan jika musuh sudah melakukan persiapan untuk berperang. Dan di dalam peperangan, setiap musuh harus dibunuh," kata ustaz Kiki kepada Republika,co.id pada Jumat (11/3/2022). 

Lebih lanjut Ustadz Kiki menjelaskan  Imam Zainuddin Al Malibari di dalam kitab Fathul Mu`in mengatakan bahwa adapun ketentuan peperangan dalam Islam memiliki dua tahapan. Pertama, yakni kondisi masih memungkinkan mereka untuk berkumpul dan bersiap-siap melakukan peperangan. 

Maka perlawanan semacam ini wajib bagi setiap penduduk dengan senjata seadanya, sehingga bagi orang-orang yang tidak wajib perang, seperti orang fakir, anak, orang yang mempunyai hutang, budak dan perempuan yang kuat, tanpa seizin  orang tua, pihak yang menghutangi, majikan dan suami, maka  perang tanpa izin tersebut diperbolehkan karena bahaya besar ini yang tidak mungkin dibiarkan.

Kedua, pasukan musuh (kafir) telah mengepung mereka dan kondisi sudah tidak memungkinkan lagi untuk berkumpul dan bersiap-siap. Maka siapa saja yang didatangi satu atau segerombolan musuh dan yakin bahwa bila ditangkap pasti akan dibunuh, maka dia wajib membela diri semampunya, meskipun dia termasuk orang yang tidak wajib perang karena tidak boleh menyerah kepada musuh. 

 

"Sebab, pada peperangan hanya ada dua kondisi, jika tidak membunuh, dibunuh. Semua pendapat ulama ini, sekali lagi, untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdzunnafs) sebagai bagian pokok tujuan hukum Islam (maqashid s-syari'ah)," katanya. Andrian Saputra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement