REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember Ustadz Abdullah Zaen mengatakan memberi nama tidak boleh sembarangan, hanya sekadar unik atau populer. Nama harus mengandung makna yang baik.
"Sebaliknya bila diberi nama buruk, maka akan berpengaruh negatif. Orang Arab berkata, 'Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya'," kata Ustadz Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (27/1/2022).
Ustadz menjelaskan, suatu hari ada seorang sahabat yang datang bertamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, “Siapa namamu?”. Ia menjawab, “Hazn (susah/sedih)”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mulai sekarang ubahlah namamu menjadi Sahl (mudah)”. Ia menimpali, “Aku tidak mau mengubah nama yang telah diberikan ayahku”. Sejak hari itu ia dan keluarganya selalu ditimpa kesusahan. (HR. Bukhari).
"Nama juga bisa menjadi salah satu indikator baik-tidaknya orang tua. Jika nama anak itu baik, maka biasanya orang tuanya saleh. Kebalikannya, bila nama anak itu buruk, itu pertanda orang tuanya bukan tipe ayah dan ibu yang baik," kata Ustadz lulusan S2 jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah ini.
Ustadz Abdullah mengungkapkan, begitu pentingnya nama, hingga Nabi shallallahu alaihi wasallam merasa perlu untuk mengubah nama-nama yang buruk. Berikut beberapa contohnya.
• Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dahulu ia bernama Abdu Syams (hamba matahari). Setelah masuk Islam, nama beliau diganti oleh Rasulullah menjadi Abdurrahman. (HR. Al-Hakim).
• Ada seorang sahabat yang dahulunya bernama Abdul Jan (hamba para jin). Sesudah masuk Islam, namanya diganti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Abdullah. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
• Dahulu Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu bernama Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah). Setelah masuk Islam diganti oleh Rasulullah menjadi Abdurrahman. (Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Isti’ab dan Al-Ishabah).