Pertama, hadits yang lemah dapat digunakan secara bebas untuk menetapkan keutamaan perbuatan.
Ini secara luas dianggap sebagai pendapat mayoritas tentang masalah ini. Cendekiawan dan ahli hukum hadis terkenal , An Nawawi menulis dalam pendahuluan Empat Puluh Hadisnya, "Para ulama sepakat bahwa hadits- hadits lemah yang hanya berbicara tentang kebajikan perbuatan dapat dikutip."
Ulama yang berpandangan ini berpendapat bahwa ketika isi teks hadits tidak berimplikasi pada masalah doktrin atau hukum agama, tingkat ketelitian dalam menentukan keasliannya tidak terlalu berat.
Ketika sebuah hadits hanya berbicara tentang berkah yang diterima dengan melakukan perbuatan baik yang sudah mapan seperti shalat, puasa atau kebaikan kepada tetangga, maka itu tidak memperkenalkan sesuatu yang baru dalam agama, tetapi hanya mendorong praktik keagamaan yang sehat.
Hadits semacam itu tidak menyatakan hal-hal yang halal atau haram, melainkan menegaskan apa yang sudah ditetapkan oleh iman.