Maskawin dapat menjadi besar atau kecil. Beberapa hadits dikatakan, sebaiknya jumlah maskawin tidak terlalu besar. Rasulullah bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَة “Keberkatan paling agung dari suatu pernikahan adalah maskawin yang mudah atau ringan untuk diberikan,” (HR Ahmad).
Sebaliknya, pemberian maskawin secara berlebihan adalah terlarang. Hal ini dimaksudkan supaya tidak menimbulkan kesulitan bagi lelaki untuk melangsungkan perkawinannya. Sebab, mempersulit perkawinan dapat menghasilkan implikasi yang buruk, bahkan merusak secara personal maupun sosial.
Umar bin Khatab RA pernah menyampaikan, ketika seorang lelaki diharuskan memberi maskawin yang mahal kepada calon istrinya, boleh jadi dia akan menyimpan kebencian kepada perempuan itu.
Sementara para ahli fiqh memang ada yang menetapkan jumlah minimal untuk maskawin. Misal, Mahzab Hanafi menetapkan jumlah tidak kurang dari 10 dirham. Madzhab Maliki menetapkan seperempat dinar.
Madzhab Syafi’I menetapkan ukuran maskawin tidak ditentukan berdasarkan nominal tertentu. Menurut Madzab Syafi’i, yang terpenting adalah apa saja yang ada harganya atau sesuatu yang berharga.
Semua pendapat ahli fiqh tersebut sebenarnya hanya memberikan ketentuan maskawin sebaik-baiknya menurut tradisinya masing-masing. Bentuk maskawin pun bisa bermacam-macam, bisa cincin emas atau perak, uang kertas, dan sejenisnya. Bahkan, dalam Madzhab Hanafi, maskawin bisa berupa hewan ternak, tanah, serta barang-barang perdagangan seperti pakaian.
Sumber: aboutislam