REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (al-Ahzab [33]: 37).
Kisah yang lain menyebutkan, pada suatu hari, Nabi saw. melihat Zainab, seraya berucap, "Mahasuci Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati." Riwayat lain mengatakan beliau mengucapkan, "Mahasuci Allah, Dzat yang menyingsingkan cahaya! Mahasuci Allah, sebaik-baiknya Dzat yang menciptakan. Rupanya, tasbih Rasulullah saw. itu terdengar oleh Zainab. Dia langsung ingat kepada suaminya Zaid. Bersamaan dengan itu, Allah menimpakan rasa benci kepada Zaid dalam hati Zainab. Tak lama beliau bertanya, "Apakah engkau mau jika aku menceraikanmu lalu dinikahi oleh Rasulullah?" Dia menjawab, "Aku takut jika engkau menceraikanku, Nabi justru tidak jadi menikahiku."
Bersamaan dengan itu, Zaid pun datang menemui Nabi saw. dan menyampaikan, "Aku ingin menceraikan Zainab." Ditanya oleh Nabi saw., "Apa alasannya, apa engkau melihat sesuatu yang kurang baik darinya?" Dia menjawab, "Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu darinya kecuali kebaikan. Hanya saja, dia sedikit bersikap tinggi kepadaku karena kemuliaannya. Itulah yang membuatku terluka."
Nabi saw. pun berusaha menasihati Zaid untuk tidak menceraikannya. Namun, rupanya dia sudah bulat menceraikan. Tatkala datang perintah Allah kepada nabi-Nya untuk menikahi Zainab, Nabi saw. berkata kepada Zaid, "Lamarlah dia untukku." Zaid pun pergi melamarnya, seraya berkata, "Wahai Zainab, bergembiralah, sebab Rasulullah saw. melamarmu." Mendengar hal itu, Zainab pun gembira luar biasa.
Sebelum Rasulullah saw. menikah dengan Zainab binti Jahsy, masyarakat Arab masih berpegang pada tradisi Jahiliyah, di mana tradisi itu kurang baik secara etika maupun secara agama. Mereka masih menyamakan antara anak kandung dengan anak angkat, baik dalam urusan waris, pernikahan, maupun yang lainnya.
Kemudian, Islam datang dan bermaksud menghapus tradisi itu. Allah pun menjadikan kisah nabi-Nya sebagai waktu yang tepat untuk membatalkannya. Hikmahnya adalah agar apa yang dilakukan Nabi saw. kemudian menjadi teladan bagi kaum Muslimin. Sedangkan tradisi lama mereka tergantikan. Di samping itu, mereka juga segera mengubah tradisi lama mereka dan segera beralih kepada ketaatan terhadap hukum Islam.
Maka Alquran pun menurunkan ayat-ayat yang berkena an dengan kisah di atas. Melalui ayat-ayat tersebut, ia menetap kan syariat yang lurus dan mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bukan, termasuk membedakan anak kandung de ngan anak angkat. Maka turunlah surah al-Ahzab ayat 36 dan 37.
Hari pernikahan Rasulullah saw. dengan Zainab telah tiba. Walimah pun disaksikan oleh banyak orang. Malahan dalam pernikahan itu, beliau juga memotong seekor kambing dan meminta Anas mengundang orang-orang ke pernikahannya. Berbondong-bondong, para tamu pun datang. Rombongan yang satu pulang, datang rombongan yang lain.
Bahkan, Anas pernah bercerita, "Setelah seluruh tamu undangan menikmati hidangan, Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Angkatlah (piring-piring itu)!"
Namun, ada beberapa orang dari mereka yang masih asyik berbincang di rumah Rasulullah saw. Melihat keadaan itu, beliau hanya bisa duduk, sedangkan istrinya menyandarkan tubuh pada dinding. Rupanya sikap mereka itu cukup memberatkan bagi Rasulullah saw. Bersambung.
Baca juga:
Delegasi Paling Mulia: Zainab binti Jahsy (4)
Delegasi Paling Mulia: Zainab binti Jahsy (6-Habis)