Selasa 12 Oct 2021 19:32 WIB

Penerapan Mahram Bagi Orang Tua Asuh

Persoalan mahram kerap dirasakan dalam interaksi orang tua dan anak asuh.

Penerapan Mahram Bagi Orang Tua Asuh
Foto:

Etika Interaksi Orang Tua Asuh dengan Anak Asuh

Adapun mengenai anak asuh yang sama sekali tidak dimungkinkan untuk terjadi hubungan mahram antara orang tua dan anak asuhnya, maka tentu hukumnya mengikuti hukum bukan mahram atau seperti orang lain pada umumnya. Namun, karena orang tua dan anak asuh tinggal bersama sangat lama, sebagai contoh bayi yang ditelantarkan oleh orang tuanya dan tidak ditemukan identitas orang tuanya sehingga terpaksa dirawat sejak bayi hingga dewasa, maka jika seluruh hukum “mahram” diterapkan akan terjadi kesusahan.

Dalam hal ini tentu perlu diberikan solusi terbaik agar tidak menjadi masyaqqah (memberatkan) bagi orang tua asuh maupun anak asuhnya terutama pada masalah menutup aurat dan yang sejenis dengan itu seperti orang tua asuh menjabat tangan anak asuh, anak asuh mencium tangan orang tua asuh, orang tua dan anak asuh saling bercengkrama sesuai aturan kesopanan anak-orang tua dan lain-lainnya yang tidak mengarah kepada “zina”.

Solusi bagi keadaan ini adalah batasan aurat sebagaimana termaktub dalam surah an-Nūr (24) ayat 31 berikut,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور (24): 30-31].

Katakanlah kepada para wanita yang beriman: Hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka atau putra–putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra–putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung [Q.S. an-Nūr (24): 31].

Pada ayat di atas terdapat beberapa orang selain mereka yang memiliki hubungan mahram yang dibolehkan untuk melihat aurat yaitu wanita-wanita Islam, budak-budak dan pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Adapun batasan auratnya yaitu sebagaimana tercantum di atas, aurat perempuan bagi mahram abadi adalah seluruh badan selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut), sedangkan untuk mahram mu’aqqad (tidak abadi) adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram adalah antara pusar dan lutut.

Keterangan di atas dapat dihubungkan kepada orang tua dan anak asuh. Saat anak asuh belum baligh, maka dia dihukumi tidak mengerti aurat wanita jika anak asuh tersebut laki-laki, sehingga ibu asuh boleh menunjukkan auratnya sebatas auratnya yang boleh terlihat kepada mahramnya. Sedangkan jika sudah dewasa maka anak tersebut bisa dikiaskan kepada orang-orang yang tidak bernafsu kepadanya, memandang hubungan orang tua dan anak yang selama ini berlangsung antara sang ibu dan anak asuhnya.

Sebaliknya jika anak asuh tersebut perempuan, maka jika dia belum baligh tentu belum berlaku hukum aurat sebagaimana seharusnya yang diberlakukan atas muslimah yang sudah baligh. Sedangkan jika ia dewasa, maka ayah asuhnya bisa dikiaskan kepada orang-orang yang tidak memiliki nafsu terhadapnya, karena hubungan ayah dan anak yang selama ini berlangsung.

Pemaknaan di atas tentu saja dapat berlaku dengan tetap mengindahkan sikap kehati-hatian antara orang tua asuh dan anak asuh. Mengingat kasus incest yang akhir-akhir ini terjadi, maka perlu menjaga batasan hubungan antara orang tua asuh dan anak agar hubungan yang terjalin “murni” kasih sayang sebagai orang tua dan anak asuh, tidak lebih dari itu.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 12 Tahun 2021

Link artikel asli

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement