REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam mengawali kajian ini yang perlu ditegaskan pertama kali adalah bahwa dalam perspektif fiqih sahnya pernikahan itu sama sekali tidak terkait dengan waktu dilangsungkannnya pernikahan, jam berapa, hari apa, bulan apa atau tahun berapa. Syarat-rukun nikah yang menentukan sahnya suatu pernikahan secara umum ada empat (walaupun hal ini masih diperselisihkan), yaitu: adanya calon suami dan calon istri yang saling rela untuk menikah, lafal ijab dan qabul yang jelas, dua orang saksi yang adil dan wali dari calon istri.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu Abbas dan Aisyah r.a., Rasulullah saw. bersabda: "Tidak sah nikah tanpa wali yang cerdas dan dua orang saksi yang adil".
Mengenai tradisi mencari "hari baik" untuk melangsungkan pernikahan yang dikaitkan dengan keyakinan adanya peruntungan nasib baik atau buruk, maka hal ini sudah memasuki wilayah akidah. Memercayai hari baik atau hari nahas terkait nasib karena dilangsungkannya suatu pernikahan pada jam, hari, bulan dan/ atau tahun tertentu sudah tergolong mempercayai ramalan, hal ini termasuk khurafat dan jelas dilarang.
Meramal nasib termasuk yang dilarang dalam Islam. Ilmu yang berhubungan dengan meramal nasib ini disebut ilmu nujum (astrologi). Rasulullah saw, menyamakan ilmu nujum ini dengan ilmu sihir, yang jelas haram.
Dalam sebuah hadis Beliau bersabda (yang maknanya): "Orang yang menekuni ilmu nujum itu sama dengan menekuni sebagian ilmu sihir..." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas r.a.).