Rabu 10 Mar 2021 10:20 WIB

Mengkaji Modernisasi Teologi Islam SherAli Tareen (1)

Tulisan SherAli Tareen memenangkan penghargaan.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Modernisasi Teologi Islam SherAli Tareen
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain itu filsafat politik Muslim abad pertengahan ternyata mengkonseptualisasikan diri sebagai norma yang mencangkup kesejahteraan, ekonomi, bahkan substansi sebuah komunal. Menurutnya, mendisiplinkan subjektivitas rakyat adalah tugas para ulama, sedangkan mengatur ranah publik adalah tugas para penguasa politik.

Semua ini adalah bagian dari tradisi Islam berabad-abad sebelum Michel Foucault membuat kita sadar akan teknologi diri, kata dia.

Sementara itu, Muhammad ibn Ali al-Tahānawī menjelaskan bahwa dua bentuk umum politik teologis dan filosofis berlaku di kalangan umat Islam.

Salah satunya adalah politik keadilan, juga disebut "rezim Norma / Syari'ah" (al-siyāsa al-syari'ah), yang diambil dari ajaran para nabi, sebagaimana juga diartikulasikan oleh karya filsuf Abū Naṣr al-Fārābī (d.950). Sedangkan rezim diatur oleh filosofi dan kebijaksanaan politik (al-siyāsa al-madanīya atau al-ḥikma al-siyāsīya) di mana aturan raja, atau jenis penguasa lain yang setara. Ahli teori politik Muslim awal memandang rezim hukum dan filsafat politik sebagai bagian dari kontinum yang saling menguatkan.

Adapun ciri dari teologi politik gabungan yang dijelaskan di atas memiliki kebutuhan untuk mempertahankan sebuah kerajaan selaras dengan para pendahulu Islam awal dan pramodern. Ciri-ciri utama para pendahulu ini adalah hierarki dan menonjolkan perbedaan antar berbagai posisi dan profesi dalam subjek politik. Sedangkan di zaman modern, warisan teologis kerap diadopsi secara tidak kritis, tanpa proses penyesuaian kondisi zaman yang berbeda dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.

Pemikiran kontekstual Syah Muhammad Isma’il tentang Tuhan sebagai sumber kasih sayang dan otoritas kedaulatan semesta, mengikis unsur aristokrat Tuhan yang lebih agaliter, sebagaimana tergambarkan dalam teologi politik terdahulu. Zunaira Komal meresponnya dengan mengutip pernyataan Sigmund Freud, Walter Benjamin, dan Jacques Derrida, yang mengingatkan bahwa masa lalu memiki banyak bias dari ‘tradisi yang tidak terselesaikan’.

Mengacu pada Walter Benjamin, dia mencontohkan sekte Khārijites-lah, muncul tiga dekade setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka begitu memuja kedaulatan Tuhan di atas segalanya, bahkan meyakini bahwa hanya perintah Tuhan yang akan menang. Namun seiring berjalannya waktu, teologi politik Islam bergeser, tumbuh dan menyesuaikan kompleksitas zaman yang semakin berkembang dan terfragmentasi.

Perubahan ini membuat para reformis Muslim abad 19 mengubah rezim norma dan hukum sebagai senjata untuk mewujudkan proyek reformasi mereka. Para reformis ini memperkuat tradisi dan praktik diskursif mereka dengan memasangkannya secara ketat ke sumber-sumber kitab suci, Al-Qur'an dan Sunnah, membuat tradisi digantikan dengan norma kitab suci dan membuatnya berbenturan dengan kerangka interpretatif yang ada dalam sejarah.

“Kedaulatan Ilahi dalam tradisi yang didesain ulang atau direformasi ini dipersenjatai sebagai alat untuk mengubah hati, pikiran, dan dunia orang percaya,” tulis Komal.

Sumber:

http://contendingmodernities.nd.edu/theorizing-modernities/tareen-ironies-of-history/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement