Sabtu 20 Feb 2021 18:25 WIB

Perbedaan Puasa Sunnah Rajab, Bagaimana Sikap Kita?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum sunnah puasa Rajab

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama berbeda pendapat tentang hukum sunnah puasa Rajab . Ilustrasi rajab
Foto:

Dalam bukunya berjudul ‘Masuk Neraka Gara-gara Puasa Rajab?’, ahli fiqih ini mengutip penjelasan Imam An-Nawawi tentang puasa sunnah pada Rajab.

“Tidak ada keterangan yang tsabit tentang puasa sunnah Rajab, baik bentuk larangan maupun kesunnahan. Namun pada dasarnya melakukan puasa hukumnya sunnah (di luar Ramadhan). Diriwayatkan  Abu Daud, Rasulullah menyunnahkan puasa di bulan-bulan haram, dimana Rajab termasuk di dalamnya.”

Ada beberapa fatwa dari ulama kontemporer yang mengatakan bahwa puasa Rajab hukumnya bid’ah, salah satunya datang dari Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syikh Shalif Fauzan. 

Adapula yang mengategorikannya sebagai ibadah makruh, kebanyakan datang dari sebagian ulama salaf. Ibnu Qadamah dan Al-Mardawi adalah ulama yang dengan tegas menyebutnya makruh. Mereka kebanyakan berkiblat pada Mazhab Al-Hanabilah.

Sedangkan pendapat yang menyebutnya sebagai sunnah, kebanyakan berasal dari ulama di luar Mazhab Al-Hanabilah. Sebagian besar ulama ini setidaknya memiliki dua hujjah. Pertama, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah.

Kedua, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan haram. Ulama yang dengan jelas membolehkan bahkan menyunnahkan puasa Rajab antara lain Ibnu Shalah, As-Suyuthi, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ash-Shawi, Asy-Syaukani, dan beberapa lainnya. 

Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Abdullah bin Harits yang bertanya tentang puasa sunnah. Beliau bersabda: 

صم شهر الصبر وثلاثة أيام بعده، وصم أشهر الحُرُم “Berpuasalah kemu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah tiga hari setelahnya, dan kemudian berpuasalah pada bulan-bulan haram.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Kesimpulannya, puasa sunnah Rajab ini memang termasuk masalah khilafiyah di tengah ulama yang terpecah menjadi tiga pendapat. Ketiganya berasal dari pendapat ulama, maka meski kita tidak sependapat, kita tidak boleh mencaci atau menghina. Sebaliknya, harus dihormati,” tutur Ustad Sarwat. 

 

“Tidak perlu ada yang merasa paling benar atau paling pintar karena pendapat yang berbeda tidak berarti salah dan tidak perlu dijelek-jelekkan,” sambung Ketua Umum Daarul Uluum Al-Islamiyah (DU Center) itu.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement