REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah berakhirnya Kekaisaran Ottoman, Republik Turki didirikan pada 29 Oktober 1923 ketika Dewan Nasional Agung di Ankara mendeklarasikan Turki sebagai sebuah republik. Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden pertamanya, yang tetap menjabat sampai kematiannya pada 1938.
Konstitusi Republik Turki pada 20 April 1924 masih mempertahankan Islam sebagai agama negara. Namun, pada April 1928 klausul ini dihapus dan Turki menjadi republik yang murni sekuler.
Setelah Mustafa Kemal Ataturk mengambil alih negara, dia mempertimbangkan mengusir keturunan laki-laki dari sultan yang dikenal sebagai "Shahzada" dari Turki. Karena sikap ketat parlemen dan Perdana Menteri Ismet Inonu, sebuah undang-undang pun disahkan untuk mengeluarkan semua anggota keluarga kesultanan Ottoman, baik wanita maupun pria dari Turki.
Kemudian Dewan Nasional Agung di Ankara mengeluarkan Dekret Nomor 431 pada 3 Maret 1924, yang menetapkan pencabutan kewarganegaraan Turki bagi keluarga Ottoman. Uang dan harta benda keluarga kerajaan juga disita.
Mereka dicegah tinggal di wilayah Turki, lalu diasingkan, dan dilarang dikubur di tanah Turki. Keputusan pengusiran itu dijatuhkan pada 164 orang anggota keluarga kesultanan, termasuk 79 anak-anak dari para sultan dan 106 anggota keluarga. Termasuk juga 15 wanita dari istri sultan, 20 mertua, dan 40 wanita.
Di antara pengungsi itu, Sultan Abdul Majeed dan putrinya Khadija Khayriya Aisha, yang dikenal sebagai Durar al-Shahwar yang mengungsi pada usia 10 tahun. Keluarganya beremigrasi ke Nice, Prancis dan kemudian ke India.
BACA JUGA: Benarkah Polri Keluarkan Tarif Tilang Terbaru? Cek Faktanya di Sini