Cendekiawan Muslim asal Suriah, Prof Wahbah az-Zuhaily, menjelaskan dalam ayat Alquran terpanjang ini, Allah SWT menjelaskan hukum hutang piutang dalam Islam.
Berdasarkan riwayat Dai Rabi', ayat ini diturunkan ketika seorang lelaki di Madinah mencari saksi dan meminta orang-orang sekitarnya untuk menjadi saksi atas transaksi hutang piutang yang dia lakukan, namun tak satupun dari mereka yang bersedia.
Ibnu Abbas berkata, “Turunnya ayat ini berkenaan dengan transaksi bai’ salam, kontrak Islami di mana pembayaran penuh dilakukan di muka untuk barang-barang tertentu yang akan dikirim di masa mendatang, yang dilakukan salah satu penduduk Madinah, kemudian ayat ini turun menjelaskan semua hal yang berkenaan dengan hutang piutang sekaligus.”
Karena itu, para ulama menyebut ayat terpanjang ini dengan sebutan Al Mudayanah (ayat hutang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguhan kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280).
Pada ayat ini Allah menerangkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah, yang didasarkan pada keadilan dan kerelaan masing-masing pihak, sehingga menghilangkan keragu-raguan, buruk sangka dan sebagainya (Kementerian Agama RI : 2012).
Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya: “Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berhutang, ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan adanya dua bukti,yaitu (1) Dari penulisan dan (2) dari Persaksian. Penulisan dan persaksiannya adalah perintah atau tuntutan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya (Shihab: 2009).