REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi akibat Covid-19 yang juga melanda Indonesia telah memantik keingintahuan publik terkait sejarah wabah yang pernah menimpa umat manusia. Sejumlah sumber menjelaskan bahwa pandemik akibat wabah menular telah terjadi jauh sejak abad ke-6 M.
Wabah Yustinius (Justinian Plague) yang terjadi pada tahun 541-542 M adalah salah satu pandemik terbesar yang sering disebut para sejarawan.
Sejarah juga mencatat wabah Shirawayh yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW sekira tahun 627-628, dan wabah Amwas pada sekira tahun 688-689 di era kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada wabah yang disebut terakhir, tak kurang dari 25 ribu sahabat Nabi meninggal terkena wabah.
Selain itu, di antara pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia adalah apa yang dikenal sebagai “Maut Hitam” (the Black Death) yang melanda Timur Tengah dan Eropa mulai 1347 hingga pertengahan abad ke-15. Bencana panjang ini telah menewaskan hampir 60 persen populasi penduduk Eropa di Abad Pertengahan.
Indonesia sendiri pernah mengalami pandemik mematikan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, termasuk Flu Spanyol pada 1918. Sayangnya, sumber-sumber primer yang memuat pengetahuan tentang sejarah wabah yang pernah menimpa umat masa lalu itu belum banyak diketahui masyarakat Indonesia, setidaknya hingga pandemi Covid-19 melanda.
Padahal, peristiwa tersebut sangat melekat dalam sejarah umat manusia, khusunya masyarakat Muslim mulai masa Nabi, masa khulafaurrasyidin, masa kekhalifahan Dinasti Abasyiyah, abad pertengahan, hingga abad ke-19.
Gap pengetahuan masyarakat terkait sejarah pandemi ini mengakibatkan kita lalai dan kurang waspada, termasuk ketika Covid-19 mulai melanda. Masyarakat Indonesia kurang memiliki memori kolektif tentang bahaya wabah menular, dan tentang betapa mematikannya wabah itu ketika kita keliru menyikapinya.
Mengingat bahwa pandemi wabah adalah semacam siklus sejarah umat manusia yang terus berulang, maka sudah sepatutnya pengetahuan tentang itu menjadi bagian dari memori kolektif pengetahuan bersama, agar kita bisa melakukan mitigasi yang lebih waspada.
Kita beruntung bahwa ternyata para penulis Muslim Abad Pertengahan banyak menghasilkan karya terkait wabah yang terjadi hingga abad ke-14 tersebut. Mereka banyak mengemukakan pandangan-pandangan teologis menyikapi wabah. Karya-karya tersebut ditulis dalam bentuk manuskrip tulisan tangan (manuscript), yang sebagiannya sudah diterbitkan dalam bentuk cetak kitab.
Salah satu manuskrip terpenting yang terkait dengan pandemi wabah, atau yang disebut tha’un, khususnya yang terjadi pada Abad Pertengahan, adalah Badzlul Ma’un fi Fadhl al-Tha’un karangan al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M), yang diterjemahkan Keira Publishing terbit pada September 2020.
Karya ini ditulis ketika Ibnu Hajar mengalami sendiri dampak wabah di Mesir pada 1444. Ia menyelesaikan penulisannya pada 1449. Saat itu, tiga putri Ibnu Hajar meninggal akibat wabah, yang sulung di antaranya, yakni Zayn Khatun, bahkan wafat dalam keadaan hamil.
Kitab Badzlul Ma’un dapat dianggap sebagai contoh karya ulama Abad Pertengahan yang melakukan interpretasi atas hadits-hadits terkait tha’un, yang sebagiannya dianggap bertentangan dengan penjelasan ilmu alam dan kedokteran.
Seperti dapat dibaca dalam buku ini, Ibnu Hajar percaya bahwa wabah menimpa manusia akibat ulah jin. Pandangan ini memang banyak berkembang di kalangan Muslim yang juga meyakini bahwa wabah itu dikirim langsung oleh Tuhan, jadi bukan karena menular. Perdebatan teologis atas hal ini menjadi bagian tema diskusi yang berkembang cukup dinamis di kalangan cendekiawan Muslim sejak abad ke-9.
Judul : Badzlul Ma’un, Tuntunan dan Petunjuk Islam atas Wabah Virus dan Penyakit
Penerbit : Keira Publishing
Cetakan : 1, September 2020
Tebal : 274 halaman
ISBN : 978-623-7754-35-0
Harga : Rp87.000