REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Agus Khudlori, Lc
Viral di grup-grup percakapan WhatsApp, video seorang ustadz mengutip sebuah hadis tentang larangan menutup mulut saat sholat. Ia menyampaikan itu di dalam sebuah mobil saat tengah melakukan perjalanan.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطَّي الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
[Naha Rasulullah SAW ay yughattha ar-rajulu faahu fish sholat].
"Sungguh Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika sholat." (HR Turmudzi)
Jadi, kita memang harus mengikuti anjuran pemerintah, tetapi pada saat kita mau sholat, sebaiknya itu masker diturunkan ke bawah mulut. Sehingga (mulut) tidak tertutup.
Setelah assalamu’alaikum-assalamu’alaikum, pakai kembali silakan. Berarti dua-duanya jalan, karena Rasulullah sangat melarang seorang laki-laki yang menutup mulutnya ketika sholat.”
Demikian yang dia sampaikan setelah si perekam video memintanya untuk membacakan “hadits masker”. Lalu, sebenarnya apa hukum memakai masker ketika sholat?
Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan tentang hukum memakai masker di dalam sholat, terlebih dahulu mari kita kupas literasi hadits tersebut.
Pertama, redaksi yang dia baca itu bukanlah redaksi hadits, melainkan tema atau kesimpulan hadis. Saya tidak menjumpai redaksi seperti itu dalam kitab-kitab hadis. Ini seperti halnya kita mengatakan: “Rasulullah melarang minum sambil berdiri.” Kalimat ini bukanlah redaksi hadis, adapun haditsnya berbunyi:
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa, hendaknya ia memuntahkannya.” (HR. Muslim)
Atau seperti pernyataan: “Pemerintah melarang masyarakat mengonsumsi narkotika.” Ini bukanlah bunyi peraturan. Adapun redaksi peraturannya berbunyi: “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.” (UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal Pasal 112 ayat 1:)
Mengenai “hadits masker” yang dikutip di atas, redaksi aslinya sebagaimana terdokumentasi dalam al-Kutub as-Sittah (Kitab Hadis yang Enam), adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ. (رواه أبو داود)
[‘An Abi Hurairah RA annar rasula SAW naha ‘anis sadli fish sholati wa ay yughatthiyar rajulu faahu].
“Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang sadl (menjulurkan pakaian) di dalam sholat dan melarang seseorang menutupi mulutnya.” (HR Abu Dawud)
Hadis ini bisa ditelusuri salah satunya dalam Kitab Sunan Abi Dawud dengan nomor hadits 643. Periwayatan oleh Tirmidzi, sebagaimana dikatakan sang ustadz, justru tidak menyebutkan larangan menutup mulut. Redaksi hadits milik Tirmidzi hanya menyebutkan larangan sadl di dalam shaolat. Ini bisa ditelusuri dalam Kitab Sunan Tirmidzi dengan nomor hadits 378.
Kedua, saya ingin mengajak pembaca budiman mengupas “hadits” yang disampaikan dalam video itu secara linguistik. Secara lugas, sang ustadz membacanya dengan struktur fi'il majhul (kata kerja pasif) pada kata يُغَطَّي (yughattha).
Perlu diketahui, secara kaidah tata bahasa Arab, bacaan di atas keliru. Mengapa? Karena susunan i’rab dan struktur kalimatnya jadi berantakan. Kata الرَّجُلُ yang seharusnya menjadi fa’il (subjek) berubah menjadi na’ibul fa’il yang bentuknya pasif.
Sehingga, jika diterjemahkan, artinya pun turut keliru, yaitu: Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki tertutupi. Sementara kata فَاهُ(kedua mulutnya) yang kedudukannya di situ sebagai maf'ul bihi (objek), menjadi tidak jelas di mana fa'il (subjek)-nya.
Struktur kalimat yang benar, seharusnya menggunakan pola kalimat aktif sebagaimana dalam hadis di atas yaitu:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِى الصَّلَاةِ [Naha Rasulullah SAW ay yughatthiya ar-rajulu faahu fish sholat]. “Rasululllah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya ketika shalat.”
Hal-hal detail seperti ini dalam bahasa Arab sangat penting untuk diperhatikan, apalagi bagi para penceramah, dai, ustadz, kiai, dan lain-lain. Tak lain karena ini berkait-kelindan dengan sejauh mana dia mampu memahami isi kitab atau literatur yang dia pelajari, baik itu berupa hadits, ayat Alquran, maupun teks-teks berbahasa Arab lainnya.
Jika dia salah membaca, artinya dia akan salah memahami. Dan jika dia salah memahami, artinya dia akan menciptakan kesesatan kepada jamaah yang mendengar ceramahnya.
Sekarang, mari kita menyentuh kandungan isi hadits tersebut untuk memeroleh titik terang dari pertanyaan di atas: apa hukum memakai masker ketika sholat?
Dalam banyak literatur, hadis ini diklasifikasikan para ulama sebagai hadits hasan. Yaitu hadits yang levelnya satu tingkat di bawah hadits sahih. Bahkan, menurut Ibnu Hajar, hadits hasan sebenarnya sama dengan hadits sahih. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam hal tingkatan dhabt perawinya.
Dhabt adalah kepatenan hafalan perawi, kejeliannya, dan ketajaman pemahamannya. Jika perawi hadits sahih dipersyaratkan memiliki tingkat dhabt yang sempurna, perawi hadits hasan tidak sepaten itu.
Adapun syarat-syarat lainnya selebihnya sama. Oleh karena itu, menurut mayoritas ulama, hadis hasan juga dapat dijadikan sebagai landasan hukum (dalil) sebagaimana hadits sahih.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “hadits masker” di atas benar adanya dan bahwa Rasulullah memang melarang kita menutupi mulut dengan suatu benda seperti masker, kain, jari tangan, dan lain-lain ketika sholat. Di antara alasannya adalah karena hal itu akan menghambat bacaan sholat kita dan menghalangi tersentuhnya hidung pada tempat sujud secara langsung sehingga mengurangi kesempurnaan sujud.
Tetapi larangan itu berlaku dalam kondisi normal dan tidak ada kebutuhan atau sebab yang mengharuskan kita menutupi mulut. Apalagi alasannya sekadar modis, pamer, atau gegayaan. Adapun jika ada kondisi atau sebab yang mengharuskan kita untuk menutup mulut, maka hal itu diperbolehkan.
Kita bisa mengembalikan kesimpulan ini pada kaidah-kaidah ushul fiqih yang menjadi landasan penarikan kesimpulan hukum. Setidaknya, ada dua kaidah ushul fiqih yang membolehkan kita memakai masker ketika sholat. Yang pertama, kaidah:
الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا Ada tidaknya suatu hukum itu tergantung 'illat (sebab/alasannya).
Sebagai contoh, hukum makan daging babi adalah haram. Tetapi kalau kita sedang berada di hutan dan tidak menjumpai makanan lain kecuali babi, dan jika kita tidak makan babi itu kita akan mati, maka hukum babi menjadi halal. Di sini, 'illat-nya adalah kita akan mati kalau tidak makan babi itu. Dalam kondisi ini, hukum haram babi menjadi hilang, berganti menjadi halal.
Memakai masker ketika shalat di musim pandemi seperti sekarang ini 'illat-nya seperti kasus makam babi di atas. Yaitu untuk melindungi diri dari bahaya yang bisa menyebabkan kematian, dalam hal ini virus. Jika makan babi saja bisa menjadi halal lantaran ada 'illat-nya, apalagi hanya memakai masker yang hukum asalnya mubah, bukan haram.
Tentu saja lebih diperbolehkan. Apalagi kalau kita khawatir ketika sujud, di lantai tempat sujud kita terdapat droplet orang lain yang dapat menularkan wabah.
Yang kedua, kaidah: دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ "Mencegah kerusakan (bahaya) itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat (manfaat)."
Dalam hal ini, memakai masker adalah mencegah bahaya, yaitu kematian akibat transmisi virus ke dalam tubuh kita melalui mulut. Sedangkan tidak mengenakan masker adalah mengambil maslahat, yaitu meraih pahala dengan melaksanakan perintah hadis.
Nah, dalam kasus ini, Islam justru mengajarkan agar kita lebih mendahulukan mencegah terjadinya bahaya dibanding mengambil pahala. Artinya, memakai masker lebih utama dibanding melepas masker demi mendapatkan pahala. Dan yang terpenting, sholat kita tetap sah.
Alkisah, dalam suatu peperangan, Amru bin ‘Ash mimpi basah. Di pagi harinya, ia mengimami shalat Subuh para sahabat lainnya tanpa mandi junub terlebih dahulu. Amru hanya bertayamum. Kejadian itu rupanya diketahui salah seorang sahabat yang kemudian melaporkannya kepada Rasulullah.
Mendengar laporan itu, Rasulullah pun melakukan kroscek kepada Amru bin ‘Ash dan bertanya mengapa dia tidak mandi junub. Amru menjawab, “Kalau aku mandi, aku bisa mati menggigil, duhai Baginda.” Dia pun kemudian mengutip surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا “Dan janganlah kau membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.”
Kala itu hawanya memang sangat dingin karena jazirah Arab sedang dilanda musim dingin. Mendengar alasan itu, Rasulullah hanya melempar senyum kepada sahabat yang pernah diutusnya membebaskan Mesir dan menjadi gubernur di sana. Rasul tidak mengatakan apa pun, pertanda beliau setuju terhadap apa yang dilakukan Amru.
Dalam konteks ini, hukum wajib mandi junub menjadi hilang lantaran adanya 'illat, yaitu kekhawatiran akan terjadinya bahaya jika kita melakukannya. Mandi wajib dalam kondisi seperti ini bisa diganti dengan wudhu saja atau tayamum.
Demikianlah. Ibarat karet, hukum fiqih adalah sesuatu yang elastis. Ia lentur mengikuti konteks ruang, waktu, dan juga ‘illat atau sebab. Jika ‘illat-nya tak ada, maka hukumnya tetap seperti semula.
*Pengajar di Pesantren Kalibata, Alumni Universitas Al-Azhar Mesir